Senin, 25 Februari 2013

cerpen akhir 2012

Tidak Semudah, Meniup Udara
Oleh: Desi Nurmala Sari
“sudah berapa lama, aku menunggumu berbicara… presentasimu gagal.”
Kata-kata itu lagi. Mengapa akhir-akhir ini aku selalu disusahkan dengan kalimat itu, panas sekali gendang telingaku saat mendengar kalimat itu meleset dengat cepat, hingga semua kosa kata yang sudah terkumpul di benakku buyar seketika. Membayangkan raut wajahnya yang mengesalkan itu, seperti sedang membayangkan wajah para hantu di rumah hantu, saat ada acara pasar malam di kampungku. Terlalu seram untuk dilihat.
Sore ini aku ada janji dengan rekan kerja, untuk melakukan sebuah presentasi produk baru, perusahaan kepada para calon investor. Hal ini untung-untungan. Jika presentasi oke, kita kebanjiran modal untuk memproduksi barang, jika tidak oke, maka berakhirlah karir ku, bersama rekan satu pembagian kerja. Semua akn berlalu sampai pada akhir presentasi, itu terhenti. Hal yang sangat menakutkan, lebih menakutkan lagi dari pada membayangkan wajah para hantu. Antara hidup dan pingsanku.
Kegagalan presentasi saat menghadapi tes akhir di masa kuliah, membuatku jenuh untuk berharap bisa sukses nanti sore. Badan panas:dingin rasanya. Suara mulai serak, bisa jadi hilang saja suara ku ini saat presentasi nanti. Ku baca semua buku penunjang, mulai dari buku keterampilan berbicara yang ku miliki saat kuliah dulu, sampai buku menghilangkan grogi saat bicara di depan orang banyak. Tuhan ku mohon, jadikan usahaku ini sebuah keberhasilan nantinya. Man jadda wajadda: siapa yang bersunggung-sungguh akan sukses. Mantra sakti ala “Alif” dalam novel negri 5 menara, a. fuandi. Yang mampu menjadikan anak kampung maninjau-sumatra barat, orang yang optimis dalam segala hal. Mantra ini yang selalu ditanam dalam jiwanya. Membuat hidupnya cerah. Mungkinkah, aku bisa sepertinya? ah, aku rasa itu pernyataan yang konyol, aku dan dia berbeda. Tapi juga punya kesamaam, yaitu sama-sama berasal dari sumatera barat. semoga kesamaan asal ini, membuatku sedikit bisa seperti dia. Man jadda wjadda bersemayamlah di hatiku saat ini.
Meski aku adalah sarjana pendidikan bahasa dan sastra indonesia, aku sama sekali tidak meluruskan jalur untuk menjadi seorang pendidik. Bisnis, dan dunia usaha adalah jalanku, meski ku sadar tidak begiu mahir dalam berbicara, meski keterampilan itu satu semester ku gulati sewaktu kuliah. Tapi keinginanku membuatku mampu mencukupi kekurangan itu.
“ aku perhatikan dari tadi, ternyata hari ini kamu ganti hobi ya vin? lebih suka melamun.” sapaan dari nia membuyarkan kata-kata yang sedari tadi bernyanyi dalam otakku.
Tidak ku perdulikan teguran nia, sama sekali tidak. Bahkan menolehnya saja aku tidak ingin, apalagi menjawab umbarannya. Ingin mengulang nyanyian dari kata yang memperkosa pikiranku, namun semua terlambat. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Empat jam lagi. Hidup dan pingsanku akan dipertaruhkan. Rasanya mantra man jadda wajadda saja masih kurang, aku masih ingat mantra lainnya dalam novel itu, iza shadaqal az mu wadaha sabil: kalau benar ada kemauan, maka terbukalah jalan. Aku paham sekarang, kembali ku pelajari buku panduan berbicaraku, dengan memahami terlebih dahulu konsep dari bahan presentasiku nanti. Tiga jam penuh aku menyelesaikan semua pemahaman ini, hingga kepercayaan diri ku junjung tinggi-tinggi, karena aku yakin akan semua usaha ini.
Masih ada waktu satu jam lagi, aku membuka leptop yang sudah marah, untung saja tidak sampai merajuk, karena tidak ku acuhkan beberapa waktu. Berselang aku sedang fokus memahami konsep presentasiku. Leptop yang sedah hampir ku hancurkan keyboardnya, yang sudah lima tahun menemani jemariku menari menuangkan semua gagasan dan kata yang berlomba ingin keluar dari otakku. Menulis adalah kegemaranku, hampir setiap waktu luang ku manfaatkan untuk menulis. Namun aku bingung, mengapa satu dari aspek bahasa yang ku punya, tidak bisa diandalkan. Ya, itu dia aspek berbicara. Selalu membuat aspek berbahasaku tidak sempurna. Tapi tidak dengan saat ini, aku percya setelah presentasi ini, aspek berbahasaku akan menjadi sempurna, sebaik yang bisa ku pelajari.
Waktunya telah tiba. Dengan penuh percaya diri aku membuka presentasiku hari ini. Orang-orang penting, dengan wajah intelektual telah menatapku penuh penasaran tingkat tinggi, sedikit pun aku tidak gentar, berulang kali ku tekankan mantra sakti ala “alif” dalam hatiku yang tengah gemetar.
Waktu itupun berlalu, tepukangan memecahkan kondisi yang tadinya tegang menjadi rileks untuk saat ini. “selamat ya vino, kau berhasil. Ini sungguh presentasi yang luar biasa, yang pernah ku dengar selama aku mengikuti presentasi serupa, sebagai seorang investor. Penanaman modal akan segera kami bicarakan pada direktur utama.” ujar pak agung wijaya. Seraya melepas senyum padaku sebelum berlalu. aku hanya mengangguk kecil dan belum sempat mengucapkan terimakasih sebelum ia meninggalan ruangan miting saat itu.
Kejadian yang spektakuler, aspek berbahasaku kini lengkap sudah. Kekurangan itu telah berhasil ku samaratakan dengan kegigihanku untuk mempelajari sesuatu yang pernah membuat ku gagal.


Rabu, 07 November 2012

cerita dan aku

Dns amaeta: puisi dan semantik

Sudah pukul setengah empat sejak hujan itu berhenti menari-nari dari pemikiranku yang bercerai dengan niat. Ah aku ingin melupakan tentang hujan dan ingin bercerita tentang perkuliahan ku yang meninggalkan waktu tepatnya. Mungkin karena hujan, atau mungkin karena sesuatu yang aku tak tahu apa alasannya. Aku juga tidak memberanikan diri bertanya pada sang induk intelektual itu, kenapa ia bisa telat.
SEMANTIK, kalian tahu apa itu semantik?

Jangan bertanya balik, dan berharap aku akan terdiam dan tak mamapu menjawab. Tentunya aku tahu apa itu semantik. Apakah kalian tidak tahu kalau aku kini tengah menjalani perkuliahan di bidang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di STKIP PGRI SUMBAR. Nah semantik itu merupakan salah satu mata kuliah yang baru akan dapat diambil ketika aku sudah bisa melewati beberap tataran linguistik lainnya, seperti linguistik umum, fonologi, morfologi, sintaksis dan sampailah pada semantic yang membahas tentang makna kata.

Nah di sini titik bermulanya ceritaku, hari ini mata kuliah semantic dengan pembahasan diksi (pilihan kata) dan gaya bahasa (majas). Serumpun sudah si induk intelektual berbicara panjang dan melebar tentang kedua pembahasan ini. Dengan penjelasan yang beranak-pinak mengenai diksi dan segala bentuk dari pembagian gaya bahasa. Sampai-sampai aku juga mendengarkan cerita tentang sejarah republik  Indonesia yang di jajah Jepang dan belanda, bagaimana Indonesia merdeka, latar belakang munculnya penyair yang terkenal yaitu Chairil Anwar. Lirik lagu dari abit G ade, dan sampailah pada pembuatan puisi. Kalau dipikir-pikir apa yang membuat semua penjelasan ini menyambung?
Kalian bingung? STOP… jangan lirik aku seperti itu.

Sejujur-jujurnya, aku lebih bingung lagi. kebingungan ini semakin menjadi ketika aku dan rekan yang lainnya disuruh untuk menatap bola lampu yang ada di langit-langit kelas. Semakin konyol ketika kami disuruh untuk menuliskan apa yang kami pikirkan tentang lampu itu.
Nah… berjejer lah 31 kata yang merupakan pikiran dari kami tentang sebuah lampu.

Bermacam-macam kata yang siap tertumpuk tanpa tahu mengapa mereka memenuhi keputihan papan itu. 

Ternyata…

Kalian tahu, sematik itu berubah menjadi pembuatan puisi dengan melihat unsur instrinsiknya. Kami disuruh untuk merangkai puisi dengan kata-kata yang sudah tersaji itu..
Maka………….

Lahirlah puisi ku

Sayup tatapan mata
Menerjang sebuah cahaya
Hanya rindu yang mampu bicara
Ketika kita menjauhi rasa
               Malam masih meninggalkan terang
               Saat jiwa meremang-remang
               Ada cerita panjang yang bersinar
               Dalam kecemburuan yang berkobar
Hati yang mulai kerlap-kerlip
Menanti terang sebuah alasan
Mungkin asa akan redup
Berbalik kisah pada penyesalan
               Rinduku rindu yang mati
               Rintihku rintih yang panjang
               Ku pulangkan gemerlap pada yang menyinari
               Ku asingkan sesal securam jurang
                              Rindu ini rindu terlarang

Ya……… selesai. Tulisakan ke papan tulis untuk puisi yang berjudul IBU dari rekan ku, dan pembacaan puisi ku yang berlirik ini. Sebenarnya aku terlalu kaku jika membuat puisi dengan pemenggalan berupa bait-bait ini. Tapi aku juga harus professional dengan tugas yang ku dapati. Setelah itu kami PULANG. Ceritaku sampai di sini tentang apa yang telah ku pelajari. Kemudian aku baru memahami ada kaitan apa puisi ini dengan pembelajaran bagian dari mata kuliah sematik ku.

Sabtu, 27 Oktober 2012

cerpen 05


Maaf yang Tak Sampai


Sejenak terlintas lagi dalam benak ku ini, sejuta rasa bersalah dan resah yang selalu menghantui langkah ku, tak pernah usai rasanya, dan tak pernah berujung indah. Terkadang timbul juga rasa benci yang sangat menusuk hati saat teringat akan luka lama yang tak pernah bisa berhenti membuat perih.
 Lama ku terdiam di tengah sunyinya malam ini, berusaha bangkit dari keterpurukan yang membuat ku tak mampu merasakan hidup yang sebenarnya, entah alasan apa yang ia berikan padaku sebagai patokan tuk melepas tanggung jawabnya atas diriku ini. Benci.. sangatlah benci ku padanya, jika tak ingat bahwa ia yang, melahirkan ku ke atas bumi  ini mungkin rasa benci ini akan selalu bersarang di hati ku.
Tanpa ku sadari moza tengah memperhatikan ku sedari tadi, ia menatap ku dengan tatapan cemasnya, tatapan indah dari bola matanya  yang selalu memberi ku semangat tuk menjalani hidup ini.

“Jihan, apa lagi yang kamu pikirkan? Tidurlah lagi, tidak baik untuk kesehatanmu malam-malam begini masih saja begadang.” Sahutnya.

Seakan petir yang baru saja menyambar, suaranya mengagetkanku , sehingga membuat buyar semua rasa yang bernaung di pikiranku.

“ah… kau ini, sangat mengejutkan. Mengapa tak mengetuk sebelum kau masuk?” ujar ku.
Ia diam, tak ada sepatah katapun yang mampu terlontarkan dari bibir indahnya itu, ia juga tak sanggup memainkan bahasa tubuhnya tuk menjawab pertanyaanku.

“ mengapa kau diam dan berdiri di situ? Peeeeeeeeeerrrrrrggi. Mau apa kau kesini? Mengapa kau mengagetkanku? Jaawwwwwwwwwwwab Moza.” Aku benar-benar marah padanya.

(ia menangis dan gemetar menjawab pertanyaanku yang beruntun)
”a..aa..ku takut sakitmu bertambah parah, karena kamu belum juga tidur.”

“Mengapa kau menangis? Ku tak perlu air matamu, jawab saja semua pertanyaan ku!” aku membentaknya.

“ kau selalu saja marah padaku, aku selalu salah di matamu, tak adakah sedikit rasamu padaku farah? Mengapa? Apa salah ku?” ia balik bertanya, seraya menangis.

“hhhhhhhhhhhmmm.. kau malah balik bertanya, aku benci kamu Moza, keluar dari kamar ku ini, cepat!” lagi-lagi aku membentaknya.

“ terimakasih atas semua bentakanmu ini farah, kau harus tahu bahwa aku sangat menyayangimu, dan aku tidak sama dengan ibu. Kau ingin tahu mengapa aku tak mengetuk pintumu dan langsung saja mencoba menyapamu? Sedari tadi aku memperhatikanmu yang tengah bersedih dan batinku tersiksa dengan itu semua, salah kah perasaan ku itu? Aku ini kakak mu, aku tak ingin kau bersedih. Air matamu adalah luka ku farah.. aku bukannya tidak sopan tak mengetuk pintu kamarmu, kau sangka aku ini langsung masuk, salah besar kau lontarkan smua tuduhan itu padaku, karena pintu kamarmu memang sudah terbuka, dan saat ku lewat tak sengaja ku lihat raut wajah mu yang tengah sedih dan resah. Jika memang kau merasa aku yang salah, maafkan aku.” ia menangis dan meninggalkanku.

(Moza.. maafkan aku) kata-kata ini ku lontarkan dalam hati kecil ku, saat bibir ini tak bisa mengeluarkan kata maaf itu. Aku terdiam, tanpa ku sadari air mataku menetes, semakin lama semakin sesak rasanya dadaku, ingin menjerit saat itu juga. Aku sadar aku salah, aku selalu saja menanam rasa benci yang tak karuan padanya, meskipun aku selalu merasa setiap tatapannnya adalah pancaran indah yang menjadi semangatkku, namun terkadang perasaan ku ini tak ingin jujur dengan semua rasa sayang yang juga ku miliki untuknya. Aku juga tak tahu harus bagaimana lagi.
Ku hilangkan semua masalah yang ku alami tadi, ku coba menutup mata walau berat awalnya, ku paksa dan terus ku paksa hingga ku menembus mimpi yang tak terduga, dalam mimpi ku bertemu ayah tercinta, ayah ku terlihat sangat rapi dengan kemeja putih yang bergaris-garis biru, kemeja yang dipakai ayah saat tragedi kecelakaan itu, hingga aku menjadi seperti ini sekarang, hanya berbaring saja dikamar dengan sejuta rasa aneh yang selalu menemaniku.

“ayah…….” Sahutku melambai.

Ayah membalas lambaian tangan ku, sungguh sangat bahagianya aku, ku lihat wajah ayah yang bersinar, dan senyuman yang indahpun dilepaskan ayah padaku, ku balas senyuman itu. Saat itu juga ku baca bahasa tubuh ayah yang tengah mengajak ku tuk ikut bersamanya, terlintas diingatan saat seperti ayah yang dulu mengajakku kepelukannya sepulang bekerja, ah… ku coba tuk tenang dan melangkah kearah ayah, tapi ayah memberi isyarat tuk berhenti melangkah, karena bukan aku yang di panggil ayah, aku bingung dan melihat ke belakang, aku terkejut saat melihat moza berlari menuju ayah. Aku ingin marah rasanya, tapi belum sempat berkata apa-apa, moza telah berdiri di samping ayah, aku benar-benar ingin marah saat itu, moza dan ayah melambai dan saat ku melangkahkan kaki ingin menemui mereka , mereka hilang entah kemana. Aku kecewa dan berteriak tuk melepas rasa kesal ini, hingga teriakan ku itu mengembalikan ku ke alam nyata. Ku terbangun, saat sinar mentari pagi menyentuh wajah ku. Dan kicauan burung menyayi riang menyambut pagi juga aku yang baru terbangun dari mimpi ku.
Ku coba mengingat mimpi itu, ku coba mengisyaratkannya, tapi aku tidak bisa. Aku hanya terdiam melepaskan rasa takut yang mulai singgah di hatiku. saat rasa itu berkecamuk muncul dibenakku sosok orang yang sangat ku benci, ibu.. ya ibuku.. rasanya tak ingin memanggilnya ibu, tapi apa boleh dikata dia adalah orang yang membuatku bisa melihat dunia yang indah ini, namun ia juga yang membuat ku tak bisa lagi menyusuri jalan tuk menatap indah dunia dengan langkahku tuk menyusuri titik demi titik kabut tepi keindahan.
 Ibu, mengapa semuanya jadi begini? Aku sebenarnya tak ingin membenci mu, aku sayang padamu ibu, namun kau terlalu kejam meninggal kan ku dengan keadaan yang tak sepantasnya, seharusnya kau ada saat ini  disisi ku ibu, aku butuh kamu.
Sejak kecelakaan setahun yang lalu itu ibu tidak pernah lagi menampakkan wajah nya padaku, ibu seakan menghilang. Aku mulai membenci ibu saat ibu menjadi penyebab kematian ayah dan ketertekanan ku yang hidup tanpa punya kaki.
Sepulang ayah bekerja aku selalu mendapatkan ayah dengan senyuman manis sambil berdiri di depan pintu dengan dua bungkus coklat kesukaan ku dan moza, dan setangkai mawar indah untuk ibu, ayah selalu saja begitu. Ayah akan menggendongku sampai keruang tengah kemudian memeluk ibu yang sedang menonton telenovela, tapi saat itu ayah tak seperti biasanya.
Pintu depan terbuka, tanpa ada bunyi bel. Aku berlari dari kamar menuju ruang depan, ku yakin itu ayah yang sengaja masuk tanpa bel, namun aku ragu saat mata tertuju pada jam dinding di ruang tengah yang masih menunjukkan pukul setengah empat sore, tidak mungkin ayah pulang cepat tanpa memberi ku kabar, ku berjalan perlahan dan ku saksikan sendiri apa yang terjadi saat itu.
Rangkulan mesra yang biasanya ku lihat antara ayah dan ibu, namun tidak pada saat ini. Ibu dirangkul laki-laki asing yang tak ku kenal, ia juga mengecup pipi ibu. Aku kesal, sangat kesal. Tak berapa lama semua kejadian menjijikan itu ku lihat dengan mata ku ini, aku tidak mengerti mengapa ibu begini, dan siapa laki-laki itu.
Bel berbunyi, aku tidak ingin beranjak dari tempat ku berdiri, karena saat itu aku serasa membeku, tak percaya dengan apa yang ku lihat. Lama bel berbunyi, sampai akhirnya pintu terbuka. Ku lihat wajah ayah yang riang tiba-tiba memerah penuh amarah, melihat apa yang dilakukan ibu.

“bu… apa-apaan ini semua? Kau.. siapa kau yang beraninya menyentuh  istriku?” teriak ayah menarik ibu kesisinya.

“aku tomi, suaminya renata” jawap laki-laki itu dengan tegasnya.

“ayah.. ibu akan jelaskan semuanya” ibu menangis.

“ah………. Aku tak mengerti dengan semua ini, aku tak mau ribut dirumah, lihatlah farah melihat semua ini, aku tak ingin anak-anak membenciku, karena aku memarahi ibu mereka” ayah menatap ku, ia tahu aku melihat semuanya?

“farah…farah  itu kah anak ku renata? Mana ia? Aku rindu padanya.” Ujarnya pada ibu.

“tidak. Farah anak ku, darah dagingku. Dan ku peringatkan padamu jangan sentuh anakku.”

‘ayah…” aku berlari kepangkuan ayah..

Saat itu juga laki-laki itu menarikku dan membawa ku pergi dengan mobilnya, aku menangis, menjerit memanggil ayah, ku lihat dibelakang mobil ayah tengah mengejarku, aku takut benar-benar takut, karena mobil melaju dengan cepatnya. Dari kejauhan ku lihat truk besar yang mengarah tepat di depan mobil yang membawa ku.
Tak tahu apa yang terjadi sebenarnya, aku sudah berada di rumah dengan alat lengkap rumah sakit, saat itu juga ku ingin berlari mencari tahu apa yang terjadi di luar sana, namun kehancuran hati itu melandaku, kaki ku tidak lagi bisa menopang tubuh ku ini. Aku lumpuh, aku tidak bisa menggerakkan kaki ku, sehingga saat jenazah ayah hendak dikubur, aku tak bisa melihat tu semua.  Sampai saat ini, aku tidak bisa berjalan, dan moza lah yang selalu merawatku, karena aku tidak pernah lagi bertemu ibu, ntah apa yang terjadi dengan ibu yang aku tahu ibu pergi dengan laki-laki itu, dan ayah telah meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Ku lupakan kenangan pahit itu, ku pejamkan mata lalu tanpa terasa seakan ada hawa dingin disampingku, ku terbangun dan langsung teringat moza, ya aku tiba-tiba teringat moza. Aku ingin sekali rasanya bertemu moza, dan memeluknya serta meminta maaf padanya atas sikap kasarku selama ini. Ku sadar moza lah satu-satunya yang ku punya saat ini, dan ku ingin sampaikan padanya aku juga menyayanginya, bahkan sangat. Ku juga merasakan hal aneh, tiba-tiba saja ku ingin memeluk moza dan bilang “ moza maafkan aku”.
Dari luar terdengar suara keras yang membuat ku terkejut. Ingin sekali ku melihat apa yang sedang terjadi di luar sana.

“moza.. moza.. aku ingin keluar, tolong bawa aku keluar. Aku ingin melihat apa yang terjadi di luar, aku mendengar suara yang keras sekali moza, seperti orang tabrakan. Moza,, kau bisa dengar aku?..” teriakku..

Aneh. Biasanya moza langsung menemuiku saat namanya ku panggil, tapi tidak tuk saat ini. Apa yang terjadi sebanarnya. Dengan sekuat tenaga ku coba menggerakkan kaki ini, awalnya perih yang ku rasa, namun dengan semua kemampuan dan tenaga yang ada, ku bisa berdiri, tekat kuat ku tuk menemui moza dengan berjalan sendiri sangat kuat, ku ingin dia senang ku bisa berjalan lagi.
Ku melangkah  dengan perlahan, karena masih ada sedikit rasa perih dikaki ini saat ku bawa bergerak. Tak ku hiraukan rasa sakit itu ku tetap melangkah tuk menemui moza. Sesampainya di pintu depan ku melihat orang-orang yang ramai di tengah jalan, ternyata memang benar barusan terjadi tabrakan. Ku masih mencari di mana moza, tapi tak bertemu. Ku dekati kerumunan itu, lalu ku lihat sosok wanita penuh darah diwajahnya itu, ku kenal benar dengan wajah itu, sudah tidak asing lagi bagiku.

“moza..mozaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.. jangan tinggalkan aku. Lihatlah moza, aku sudah bisa berjalan.” Aku merintis memeluknya.

Moza digotong warga setempat memasuki sebuah mobil milik warga, dengan keinginan membawa moza ke rumah sakit terdekat. Selama dalam perjalanan aku tak berhenti menangis dan berbicara pada moza, tapi ia hanya diam dan tersenyum. Ku tahu ia menahan rasa sakit.

“moza.. moza.. jangan tinggalkan aku, lihat moza, aku sudah bisa berjalan. Moza aku ingin mengatakan sesuatu padamu, aku sangat sayang kamu moza, sangat sayang, aku tidak ingin kehilanganmu moza, aku tak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Kamu masih menyayangiku kan moza?  Dan satu hal yang harus kau tahu, aku sangat ingin memelukmu sambil berbisik, aku sayang mbak moza, seperti aku sayang papa. Moza aku…….”.

Belum sempat kata-kata terakhir itu ku ucapkan, ku merasakan genggaman tangan moza yang tadinya kuat, kini telah melemah.. ,moza telah meninggalkanku, aku kehilangan moza, sebelum aku meminta maaf padanya. Aku menyesal karena tak sempat meminta maaf, saat ini ku selalu bertanya,” masih adakah maaf untuk ku moza” untuk orang yang selalu menyakitimu dengan melampiaskan bencinya pada sosok ibu yang mirip denganmu, dan untuk orang yang juga sangat menyayangimu?

cerpen 04


Lukisan Terakhir
gerimis belum juga usai, aku tengah menunggu-nunggu datangnya pelangi sesudah ini. aku balikkan pandangan yang tadinya memperhatikan rintik hujan, sekarang telah menatap sebuah lukisan indah sosok seorang pria yang ikut ambil tempat di dinding kamar ku yang penuh dengan coretan cat berwarnah putih biru. Semapat semua kenangan tentang sosok ini kembali bermain di pikiranku.
“biaran aku yang pergi menemui bunda mu riz..” akbar menatap mata ku, tidak seperti biasanya.
ku tarik tangannya dan kemudian ku peluk penuh rasa takut.. “aku ingin ditemani beberapa saat”
“aku pasti akan kembali, walau pun sedikit terlambat mungkin” ia mengecup keningku.
aku ambil peralatan lukis, yang  tersusun rapi dalam sebuah kotak berukuran sebesar koper kerja ayah ku bila hendak ke kantor.
aku pun mulai mengeluarkan dan menyusun alat-alat lukis ku dengan baik. setelah semua nya selesai, aku mulai menatap Akbar dalam-dalam. Sedalam cinta dan kasih ku yang telah tertanam di kalbunya.
“aku ingin kamu tetap diam di sana, dengan posisi yang seperti itu. Aku ingin kamu tersenyum agar terlihat lebih ganteng.” rayu ku mengawali jemari ini memainkan kuas dan membuat coretan-coretan penuh arti.
seperti halnya setiap coretan yang mulai nampak di atas permukaan berwarna putih ini, seperti itu lah perjalanan cintaku bersama Akbar lebih kurang sudah memesuki usia yang ke empat bulan. Berkenalan dengan cara yang sangat tidak diduga-duga.
aku masih ingin mengingatnya saat mulai membuat pola lukisan ini, aku berharap lukisan dirinya yang akan ku siap kan dalam beberapa jam ini, akan ditemani kosentrasi penuh dengan sejuta kenangan ku selama benjalani kisah cinta dengannya.
musim hujan di awal bulan september , aku masih ingat jalan setapak yang mengawali teriakanku..
“jambret… toolloong..” aku menjerit sejadi-jadinya. karena yang ada di  dalam tas itu adalah sebuah harapan besar untuk membuat ku bisa tetap melanjutkan kuliah ku. baru beberapa jam yang lalu uang kiriman ibu dari kampung, aku ambil dri pos.
memang sepi saat itu, hingga teriakanku bisa ku rsakan kembali hanya menampar wajah ku, karena di bawa angin yang berlawan arah. aku mencoba ikhlas dan tetap berjalan dengan air mata yang terurai sepanjang langkah ku meninggalkan tempat kejadian. lepas sudah langkah terakhir ku meninggal kan jalan setapak yang menghubungi temapt kos ku dengan perumahan sebelah, sebelum menuju jalan raya.
hati yanng gundah, perasaan bersalah, dan pikiran yang tidak tenang, menghalangi segala bentuk nafsu makan ku. aku pandangi telpon genggam buntut milikku, pemberian dari ayah sewaktu melepasku ke kota besar ini untuk pergi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
rasa takut ku mulai tidak karuan, takut sekali jika orang di rumah menanyakan uang yang telah dikirim. aku benar-benar tidak ingin menjawab rasanya. dari pada itu yang terjadi, aku berniat untuk menefon duluan dan harus berani berbohong. Baru saja aku hendak memencet salah satu tombol, tiba-tiba saja hp ku berdering, saking kagetnya, aku hampir saja menjatuhkannya.
sebuah nomor naru muncul di layar hp ku. awalnya ragu untuk menganggatnya, tapi ya sudahlah mana tahu penting, pikir ku.
“halo, selamat malam mbak yeriz. aku akbar. kapan kita bisa bertemu. kebetulan tas mu sekarang ada bersama ku. maaf karena baru aku beri tahu. aku begitu sangat terburu-buru, hingga saat merebut ts ini dengan penjamret itu, aku tidak langsng menemuimu.” dia berbicara seperti teman dekat ku saja, dan tidak memberikan ku kesempatan untuk sekedar bertanya bagaimana bisa, bahkan sekedar mengucapkan terimakasih.
karena keterbatasan pulsa, aku tidak bisa menghubunginya kembali. aku kirimkan saja pesan singkat yang berisikan ucapan terimakash serta tempat dimana dia bisa mnemuiku. ku berikan alamat lengkap tempat kos ku.
memang semua bermul dari sana, aku dan dia mulai sering telfon-telfonan, saling mengirim pesan singkat, sekedar mananyakan sedang apa, sudah barani bertemu kembali untuk ke dua kalinya diluar kos. kmi bertemu di salah satu pusat perbelanjaan dan dengan agak sedikit canggung untuk berbicara, sampai sudah berani bercanda gurau penuh gelak tawa. saat pertemuan itu kami sama-sama mengenakan baju biru, setelah lama ngobrol, akhirnya ketahuan warna favorit kami sama, yaitu biru.
berjalan waktu hingga akan memasuki awal bulan januari. dan tepat di malam tahun baru itu, dia datang langsung untuk  sekedar memberikan cincin gram putih pada ku, sambil mengutarakan isi hatinya. tepat diawal bulan kami resmi jadian. memang pada saat itu kos sangat ramai, karena kebetulan semua anak kos dan ibu kos sepakat membuat acara api unggun. jadi tidak masalah ia datang pada waktu yang sudah larut malam. kalo tidak, mana bisa. Karena pukul sembilan malam saja pagar sudah digembok.
tidak terasa, sudah selesai pula aku melukis wajahnya dan cerita ku bersama nya belum usai untuk diceritakan.
“riz, pegal sekali rasanya badan ku, sudah tiga jam dengan posisi mematung seperti ini.” ujarnya dengan wajah memelas..
“ia akbar sayang, sudah selesai juga kok, jadi kamu sudah bisa bergerak seperti biasa. aku senang, bisa melukis dengan ditemani dirimu. Karena selama ini, kalo aku melukis untuk acara pameran kampus kamu pasti selalu sibuk..” aku tersenyum bahagia, dan kembali memeluknya.
Ada rasa yang aneh saat aku mmeluknya, terasa berat untuk melepaskannya.
“ya sudah.. sudah. kalau begitu aku menemui bunda mu dulu ya, mungkin memang ada hal yang penting, terkait dengan acara pertunangan kita..” da sayang, janagn nakal selama aku pergi. muach” satu kecupan hangatnya singgah di pipi kiri ku, dan ia berlalu dengan melambaikan tangannya.
suara mesin motor yang kemudian menghilang, menandakan ia telah berlalu, azan magrib berkumandang, masing tidak ada kabar dari akbar, atau pun ibu. isya datang dengan kabar duka, surga telah memintanya. aku ikhlas, meski ada rasa sakit yang sangat dalam..
aku tersadar,  ya allah..
andai aku tahu itu adalah pelukan terakhirnya untukku, kecupan itu juga yang terakhir, sentuhan itu, jika memang suara itu, yang ku dengar untuk terakhir kalinya, aku siap. namun, yang ku ketahui hanya rasa takut melepasnya saat itu.
ini lukisanku yang terakhir, aku mencoba mengatakan tidak jika kuas ingin menari bersama jemariku, bila warna inginkan perpaduan dariku, aku menyerah dengan segala ketakutan masa itu. saat mata ini harus memandangnya berjam-jam sebelum ia berlalu, dan kuas ini yang mengukir polanya dalam lukisan itu.
pagi ini aku tutup kenangan manis bersama akbar, ku simpan alat lukisku, ku tatap lukisan itu untuk terakhir kalinya pula, ku simpan ia bersama dalam kotak kecil, bukan ku kubur semua masalalu, tapi aku akan menjadikannya masa depan. ridwan adiknya akbar bersedia menikahiku, setelah ia tahu aku membiarkan benih cinta kami berkelana dalam rahimku. maafkan kami akbar, cinta ini terjadi sebelum aku mengenalmu. kau akan jadi yang terakhir bersama lukisan itu di dalam hatiku.

Kamis, 25 Oktober 2012

cerpen 03


Menulis Cerpen

               Rabu ini, aku tidak menemukan sinar mentari pagi saat melangkah menuju kampus. Kuliah di lantai tiga, menguras energiku yang masih tersisa saat makan malam. Aku merasakan lapar. Pagi ini dengan ditemani suaracacing di perut, aku mulai mencari inspirasiku yang tertinggal di kamar kos.
               Hiruk-pikuk keadaan sekitar. Menatap Hendri dengan celotehannya, Igo dengan gayanya yang mulai eksotik. Atau aku mulai manahan geli, ingin tertawa melihat tatapan kosong yang seakan ingin menangkap inspirasi dari semilirnya angin pagi ini. Aku melihat itu dari semua mata yang mulai menari-nari. Celotehan itu mulai menipis, suara-suara berbisik mulai lenyap dari peredarannya yang menekan bunyi bahasanya. Ku lihat wajah-wajah serius yang baru saja lahir. kami semua mulai untuk saling mencuri inspirasi.
               Detak jarum jam, menambah kegelisahanku yang belum bisa mencari inspirasi yang ku inginkan. Semua sudut ruangan telah memantulkan kembali kegelisan itu padaku. Aku bingung akan membuat apa, dan akan memulainya dengan bagaimana. ku perhatikan wajah-wajah yang tadinya mulai serius kini mulai terlihat agak lucu lagi. Ada yang tersenyum-senyum kecil, sambil menulisan sesuatu di buku latihan, mata kuliah menulis kreatifnya. Ku temukn pula wajah penuh mendung tepat di wajah Igo yang mulai menipiskan keeksotikannya dan berganti dengan wajah mengiba. Aku tak pernah tahu apa yang tengah mereka pikirkan, cerita pendek seperti apa yang akan mereka selesaikan. Aku dikejutkan dengan pertukaran lembar buku yang telah penuh dengan tulisan, oleh teman sebelahku. Sempat ku baca judulnya: keluargaku, aku merindukanmu. Seketika itu pula aku terdiam dan mengenang keluargaku.
               “Biarkan aku menari, untuk menutupi tangisku ayah.. Bukankah ibu yang inginkan itu?” celotehan kecilku membuat ayah diam.
               Ayah memilih untuk berlalu, dari pada ikut menangis seperti adik kecilku itu, yang sedang menikmati angin bersama ayunan rotannya. Qaufa sudah tiga hari, tidak lagi meminum susu tabung, Kini ayah selalu menyodorkan air gula kalau saja Qaufa menangis. Malangnya, adikku yang berumur lima bulan ini. Semua orang bertanya kemana ibu, yang tidak pernah menyentuh Qaufa saat menangis, yang tidak pernah lagi membeli sayur ke warung, atau tidak pernah lagi terlihat menjemurkan pakaian kami. Yang kemudian ku jawab: ibuku sudah mati. Mereka terdiam.
               Sepuluh tahun berlalu. Qaufa kini sudah lebih sering tertawa dari pada menanggis sekedar membuat ku dan ayah tenang saat berbagi tugas rumah. Tidak lagi ku temukan airmata yang mengalir di pipinya. Menjadi gadis kecil yang penuh senyum seakan ia adalah manusia kecil yang paling tegar. Qaufa tumbuh menjadi gadis kecil yang benar-benar cantik, rambutnya yang tebal, menari saat diterpa angin pantai. Bola matanya yang elegan berpadu dengan tatapan sayunya yang anggun. Dengan bibir yang yang sangat cantik dan seksual itulah ia memanggilku uni.
Batu karang itu masih tetap kokoh meski sudah diterjang ombak bertahun-tahun, masih saja belum rapuh meski kenangan itu mulai hilang. Rumah kayu di tepian pantai, masih kokoh saat menyambutku datang. Meski kini telah ku lihat kering dan mulai lapuk, karena hujan dan panasnya terik matahari selalu bergntian mengantar pesan padaku. Ayah masih kuat mendayung perahu tua yang mulai bocor dengan tiba-tiba di tengah lautan lepas itu. Rambutnya yang mulai putih tidak pernah membuatnya hanya berdiam diri di rumah, sekedar  melihat deburan ombak  yang telah mengantarkanku untuk mencapai pendidikan seperti ini. Ayah tetap mengobarkan semangatnya, meski kenytaannya tulang ayah sudah mulai tidak sekuat dulu, kulitnya pun kini sudah mulai keriput. Namun, dengan perkasanya ayah selalu tersenyum bila hendak berangkat melaut. Dan tetap tersenyum, meski hanya seekor ikan yang beratnya tiga kilo gram saja yang bisa di bawanya pulang.
Keluarga ini yang mengajarkanku, untuk tetap tegar dan selalu tersenyum dalam lika-liku kehidupn yang terkadang gersang. Ibu meninggalkan kami pun dengan tersenyum saat melangkah dan mulai jauh, sejauh saat ini hingga mata tak bisa saling bertemu. Aku harus tetap hidup tanpa ibu dengan selalu berusaha tegar dengan sebuah senyuman. Semuanya harus dengan tersenyumS. Senyum dan senyum, seakan tak diizinkan untuk melihatkan sedih dengan airmata, atau menafsirkan betapa sakitnya luka. Semua dengan senyuman, dan hari itu pun aku harus tersenyum. Meski aku ingin menjerit dan meraung-raung dalam kesedihan. Aku tetap tak inginkan adanya airmata sampai pada titik bermulanya kemunculan sikapku yang begitu dingin, datar tanpa senyum. Saat itu Qaufa meninggalkanku dan ayah dengan senyuman terakhirnya, sebelumnya Qaufa sempat berkata:
“uni (kakak perempuan) ibu ke syurgakah?  atau telah menyeberang lautan itu?” ujarnya pelan, seperti berbisik sambil menunjuk lautan lepas tepat di depan kami yang sedang berbincang.
Deburan ombak di depan rumah ku seakan membangunkan ku dari mimpi buruk di malam yang dingin itu, sepeninggal guyuran hujan di tengah malam. Dan saat terjaga, ku rasakan badan Qaufa yang dingin sekali, dia tidak bergerak untuk sekedar menarik selimut, dan aku mulai resah saat ku dapati dirinya yang tidak lagi bernafas. Aku menjerit, tak ada senyum lagi bagiku.
“Andara hanazayara putri, silahkan kumpulkan cerpennya!” suara bu Afiani mengejutkanku.
“hmm…. aku belum menyelesaikan cerpen ini bu..” jawabku datar dan mulai tak tenang.
Bu Afiani tersenyum mendekatiku. Dengan suara seperti ketukan nada saat aku mengikuti upacara bendera pada hari senin di masa putih abu-abu ku, atau saat aku mengikuti upacara tujuh belas agustus di lapangan terbuka nagari kami saat itu. Suara itu bersumber dari highheelsnya yang berpita, sangat indah dan ini lah ciri khasnya dosenku yang dijuluki dengan panggilan: bu dos Af yang cantik. Aku mulai salah tingkah dan malu untuk menatapnya.
“Bukankah ibu menyruhmu untuk membuat sebuah cerpen Andira?” ujarnya datar.
“Maafkan aku.” ujarku dengan senyum yang datang tiba-tiba.
Meski ada rasa  takut. Namun, aku sempatkan juga untuk tersenyum. Dan aku sedikit terkejut juga takjub, saat senyumanku membuat bu Afiani ikut tersenyum. Aku pun mulai dilanda ragu. Apakah bu afiani tersenyum karena ingin membalas senyumku, atau malah tersenyum karena baru saja membaca sebuah kalimat yang sempat ku biarkan melekat bersama coretan pulpenku.
(Aku menjerit, Tak ada senyum lagi bagi ku)
               Aku baru mengerti, senyum itu bukan unuk ku tutupi lagi, karena hari inilah, rabu yang penuh berkah saat pertama kalinya aku tersenyum selama memasuki masa perkuliahanku.

                                                                                                                                       Gunung pangilun….