Kamis, 25 Oktober 2012

cerpen 03


Menulis Cerpen

               Rabu ini, aku tidak menemukan sinar mentari pagi saat melangkah menuju kampus. Kuliah di lantai tiga, menguras energiku yang masih tersisa saat makan malam. Aku merasakan lapar. Pagi ini dengan ditemani suaracacing di perut, aku mulai mencari inspirasiku yang tertinggal di kamar kos.
               Hiruk-pikuk keadaan sekitar. Menatap Hendri dengan celotehannya, Igo dengan gayanya yang mulai eksotik. Atau aku mulai manahan geli, ingin tertawa melihat tatapan kosong yang seakan ingin menangkap inspirasi dari semilirnya angin pagi ini. Aku melihat itu dari semua mata yang mulai menari-nari. Celotehan itu mulai menipis, suara-suara berbisik mulai lenyap dari peredarannya yang menekan bunyi bahasanya. Ku lihat wajah-wajah serius yang baru saja lahir. kami semua mulai untuk saling mencuri inspirasi.
               Detak jarum jam, menambah kegelisahanku yang belum bisa mencari inspirasi yang ku inginkan. Semua sudut ruangan telah memantulkan kembali kegelisan itu padaku. Aku bingung akan membuat apa, dan akan memulainya dengan bagaimana. ku perhatikan wajah-wajah yang tadinya mulai serius kini mulai terlihat agak lucu lagi. Ada yang tersenyum-senyum kecil, sambil menulisan sesuatu di buku latihan, mata kuliah menulis kreatifnya. Ku temukn pula wajah penuh mendung tepat di wajah Igo yang mulai menipiskan keeksotikannya dan berganti dengan wajah mengiba. Aku tak pernah tahu apa yang tengah mereka pikirkan, cerita pendek seperti apa yang akan mereka selesaikan. Aku dikejutkan dengan pertukaran lembar buku yang telah penuh dengan tulisan, oleh teman sebelahku. Sempat ku baca judulnya: keluargaku, aku merindukanmu. Seketika itu pula aku terdiam dan mengenang keluargaku.
               “Biarkan aku menari, untuk menutupi tangisku ayah.. Bukankah ibu yang inginkan itu?” celotehan kecilku membuat ayah diam.
               Ayah memilih untuk berlalu, dari pada ikut menangis seperti adik kecilku itu, yang sedang menikmati angin bersama ayunan rotannya. Qaufa sudah tiga hari, tidak lagi meminum susu tabung, Kini ayah selalu menyodorkan air gula kalau saja Qaufa menangis. Malangnya, adikku yang berumur lima bulan ini. Semua orang bertanya kemana ibu, yang tidak pernah menyentuh Qaufa saat menangis, yang tidak pernah lagi membeli sayur ke warung, atau tidak pernah lagi terlihat menjemurkan pakaian kami. Yang kemudian ku jawab: ibuku sudah mati. Mereka terdiam.
               Sepuluh tahun berlalu. Qaufa kini sudah lebih sering tertawa dari pada menanggis sekedar membuat ku dan ayah tenang saat berbagi tugas rumah. Tidak lagi ku temukan airmata yang mengalir di pipinya. Menjadi gadis kecil yang penuh senyum seakan ia adalah manusia kecil yang paling tegar. Qaufa tumbuh menjadi gadis kecil yang benar-benar cantik, rambutnya yang tebal, menari saat diterpa angin pantai. Bola matanya yang elegan berpadu dengan tatapan sayunya yang anggun. Dengan bibir yang yang sangat cantik dan seksual itulah ia memanggilku uni.
Batu karang itu masih tetap kokoh meski sudah diterjang ombak bertahun-tahun, masih saja belum rapuh meski kenangan itu mulai hilang. Rumah kayu di tepian pantai, masih kokoh saat menyambutku datang. Meski kini telah ku lihat kering dan mulai lapuk, karena hujan dan panasnya terik matahari selalu bergntian mengantar pesan padaku. Ayah masih kuat mendayung perahu tua yang mulai bocor dengan tiba-tiba di tengah lautan lepas itu. Rambutnya yang mulai putih tidak pernah membuatnya hanya berdiam diri di rumah, sekedar  melihat deburan ombak  yang telah mengantarkanku untuk mencapai pendidikan seperti ini. Ayah tetap mengobarkan semangatnya, meski kenytaannya tulang ayah sudah mulai tidak sekuat dulu, kulitnya pun kini sudah mulai keriput. Namun, dengan perkasanya ayah selalu tersenyum bila hendak berangkat melaut. Dan tetap tersenyum, meski hanya seekor ikan yang beratnya tiga kilo gram saja yang bisa di bawanya pulang.
Keluarga ini yang mengajarkanku, untuk tetap tegar dan selalu tersenyum dalam lika-liku kehidupn yang terkadang gersang. Ibu meninggalkan kami pun dengan tersenyum saat melangkah dan mulai jauh, sejauh saat ini hingga mata tak bisa saling bertemu. Aku harus tetap hidup tanpa ibu dengan selalu berusaha tegar dengan sebuah senyuman. Semuanya harus dengan tersenyumS. Senyum dan senyum, seakan tak diizinkan untuk melihatkan sedih dengan airmata, atau menafsirkan betapa sakitnya luka. Semua dengan senyuman, dan hari itu pun aku harus tersenyum. Meski aku ingin menjerit dan meraung-raung dalam kesedihan. Aku tetap tak inginkan adanya airmata sampai pada titik bermulanya kemunculan sikapku yang begitu dingin, datar tanpa senyum. Saat itu Qaufa meninggalkanku dan ayah dengan senyuman terakhirnya, sebelumnya Qaufa sempat berkata:
“uni (kakak perempuan) ibu ke syurgakah?  atau telah menyeberang lautan itu?” ujarnya pelan, seperti berbisik sambil menunjuk lautan lepas tepat di depan kami yang sedang berbincang.
Deburan ombak di depan rumah ku seakan membangunkan ku dari mimpi buruk di malam yang dingin itu, sepeninggal guyuran hujan di tengah malam. Dan saat terjaga, ku rasakan badan Qaufa yang dingin sekali, dia tidak bergerak untuk sekedar menarik selimut, dan aku mulai resah saat ku dapati dirinya yang tidak lagi bernafas. Aku menjerit, tak ada senyum lagi bagiku.
“Andara hanazayara putri, silahkan kumpulkan cerpennya!” suara bu Afiani mengejutkanku.
“hmm…. aku belum menyelesaikan cerpen ini bu..” jawabku datar dan mulai tak tenang.
Bu Afiani tersenyum mendekatiku. Dengan suara seperti ketukan nada saat aku mengikuti upacara bendera pada hari senin di masa putih abu-abu ku, atau saat aku mengikuti upacara tujuh belas agustus di lapangan terbuka nagari kami saat itu. Suara itu bersumber dari highheelsnya yang berpita, sangat indah dan ini lah ciri khasnya dosenku yang dijuluki dengan panggilan: bu dos Af yang cantik. Aku mulai salah tingkah dan malu untuk menatapnya.
“Bukankah ibu menyruhmu untuk membuat sebuah cerpen Andira?” ujarnya datar.
“Maafkan aku.” ujarku dengan senyum yang datang tiba-tiba.
Meski ada rasa  takut. Namun, aku sempatkan juga untuk tersenyum. Dan aku sedikit terkejut juga takjub, saat senyumanku membuat bu Afiani ikut tersenyum. Aku pun mulai dilanda ragu. Apakah bu afiani tersenyum karena ingin membalas senyumku, atau malah tersenyum karena baru saja membaca sebuah kalimat yang sempat ku biarkan melekat bersama coretan pulpenku.
(Aku menjerit, Tak ada senyum lagi bagi ku)
               Aku baru mengerti, senyum itu bukan unuk ku tutupi lagi, karena hari inilah, rabu yang penuh berkah saat pertama kalinya aku tersenyum selama memasuki masa perkuliahanku.

                                                                                                                                       Gunung pangilun….


Tidak ada komentar:

Posting Komentar