Menulis Cerpen
Rabu ini, aku tidak menemukan
sinar mentari pagi saat melangkah menuju kampus. Kuliah di lantai tiga,
menguras energiku yang masih tersisa saat makan malam. Aku merasakan lapar.
Pagi ini dengan ditemani suaracacing di perut, aku mulai mencari inspirasiku
yang tertinggal di kamar kos.
Hiruk-pikuk keadaan sekitar.
Menatap Hendri dengan celotehannya, Igo dengan gayanya yang mulai eksotik. Atau
aku mulai manahan geli, ingin tertawa melihat tatapan kosong yang seakan ingin
menangkap inspirasi dari semilirnya angin pagi ini. Aku melihat itu dari semua
mata yang mulai menari-nari. Celotehan itu mulai menipis, suara-suara berbisik
mulai lenyap dari peredarannya yang menekan bunyi bahasanya. Ku lihat
wajah-wajah serius yang baru saja lahir. kami semua mulai untuk saling mencuri
inspirasi.
Detak jarum jam, menambah
kegelisahanku yang belum bisa mencari inspirasi yang ku inginkan. Semua sudut
ruangan telah memantulkan kembali kegelisan itu padaku. Aku bingung akan
membuat apa, dan akan memulainya dengan bagaimana. ku perhatikan wajah-wajah
yang tadinya mulai serius kini mulai terlihat agak lucu lagi. Ada yang
tersenyum-senyum kecil, sambil menulisan sesuatu di buku latihan, mata kuliah
menulis kreatifnya. Ku temukn pula wajah penuh mendung tepat di wajah Igo yang
mulai menipiskan keeksotikannya dan berganti dengan wajah mengiba. Aku tak
pernah tahu apa yang tengah mereka pikirkan, cerita pendek seperti apa yang
akan mereka selesaikan. Aku dikejutkan dengan pertukaran lembar buku yang telah
penuh dengan tulisan, oleh teman sebelahku. Sempat ku baca judulnya:
keluargaku, aku merindukanmu. Seketika itu pula aku terdiam dan mengenang
keluargaku.
“Biarkan aku menari, untuk
menutupi tangisku ayah.. Bukankah ibu yang inginkan itu?” celotehan kecilku
membuat ayah diam.
Ayah memilih untuk berlalu, dari
pada ikut menangis seperti adik kecilku itu, yang sedang menikmati angin
bersama ayunan rotannya. Qaufa sudah tiga hari, tidak lagi meminum susu tabung,
Kini ayah selalu menyodorkan air gula kalau saja Qaufa menangis. Malangnya,
adikku yang berumur lima bulan ini. Semua orang bertanya kemana ibu, yang tidak
pernah menyentuh Qaufa saat menangis, yang tidak pernah lagi membeli sayur ke
warung, atau tidak pernah lagi terlihat menjemurkan pakaian kami. Yang kemudian
ku jawab: ibuku sudah mati. Mereka terdiam.
Sepuluh tahun berlalu. Qaufa kini
sudah lebih sering tertawa dari pada menanggis sekedar membuat ku dan ayah
tenang saat berbagi tugas rumah. Tidak lagi ku temukan airmata yang mengalir di
pipinya. Menjadi gadis kecil yang penuh senyum seakan ia adalah manusia kecil
yang paling tegar. Qaufa tumbuh menjadi gadis kecil yang benar-benar cantik,
rambutnya yang tebal, menari saat diterpa angin pantai. Bola matanya yang
elegan berpadu dengan tatapan sayunya yang anggun. Dengan bibir yang yang
sangat cantik dan seksual itulah ia memanggilku uni.
Batu karang itu masih tetap kokoh meski sudah
diterjang ombak bertahun-tahun, masih saja belum rapuh meski kenangan itu mulai
hilang. Rumah kayu di tepian pantai, masih kokoh saat menyambutku datang. Meski
kini telah ku lihat kering dan mulai lapuk, karena hujan dan panasnya terik
matahari selalu bergntian mengantar pesan padaku. Ayah masih kuat mendayung
perahu tua yang mulai bocor dengan tiba-tiba di tengah lautan lepas itu. Rambutnya
yang mulai putih tidak pernah membuatnya hanya berdiam diri di rumah, sekedar melihat deburan ombak yang telah mengantarkanku untuk mencapai
pendidikan seperti ini. Ayah tetap mengobarkan semangatnya, meski kenytaannya
tulang ayah sudah mulai tidak sekuat dulu, kulitnya pun kini sudah mulai
keriput. Namun, dengan perkasanya ayah selalu tersenyum bila hendak berangkat
melaut. Dan tetap tersenyum, meski hanya seekor ikan yang beratnya tiga kilo
gram saja yang bisa di bawanya pulang.
Keluarga ini yang mengajarkanku, untuk tetap
tegar dan selalu tersenyum dalam lika-liku kehidupn yang terkadang gersang. Ibu
meninggalkan kami pun dengan tersenyum saat melangkah dan mulai jauh, sejauh
saat ini hingga mata tak bisa saling bertemu. Aku harus tetap hidup tanpa ibu
dengan selalu berusaha tegar dengan sebuah senyuman. Semuanya harus dengan
tersenyumS. Senyum dan senyum, seakan tak diizinkan untuk melihatkan sedih
dengan airmata, atau menafsirkan betapa sakitnya luka. Semua dengan senyuman,
dan hari itu pun aku harus tersenyum. Meski aku ingin menjerit dan
meraung-raung dalam kesedihan. Aku tetap tak inginkan adanya airmata sampai
pada titik bermulanya kemunculan sikapku yang begitu dingin, datar tanpa
senyum. Saat itu Qaufa meninggalkanku dan ayah dengan senyuman terakhirnya,
sebelumnya Qaufa sempat berkata:
“uni (kakak perempuan) ibu ke syurgakah? atau telah menyeberang lautan itu?” ujarnya
pelan, seperti berbisik sambil menunjuk lautan lepas tepat di depan kami yang
sedang berbincang.
Deburan ombak di depan rumah ku seakan
membangunkan ku dari mimpi buruk di malam yang dingin itu, sepeninggal guyuran
hujan di tengah malam. Dan saat terjaga, ku rasakan badan Qaufa yang dingin
sekali, dia tidak bergerak untuk sekedar menarik selimut, dan aku mulai resah
saat ku dapati dirinya yang tidak lagi bernafas. Aku menjerit, tak ada senyum
lagi bagiku.
“Andara hanazayara putri, silahkan kumpulkan
cerpennya!” suara bu Afiani mengejutkanku.
“hmm…. aku belum menyelesaikan cerpen ini bu..”
jawabku datar dan mulai tak tenang.
Bu Afiani tersenyum mendekatiku. Dengan suara
seperti ketukan nada saat aku mengikuti upacara bendera pada hari senin di masa
putih abu-abu ku, atau saat aku mengikuti upacara tujuh belas agustus di
lapangan terbuka nagari kami saat itu. Suara itu bersumber dari highheelsnya
yang berpita, sangat indah dan ini lah ciri khasnya dosenku yang dijuluki
dengan panggilan: bu dos Af yang cantik. Aku mulai salah tingkah dan malu untuk
menatapnya.
“Bukankah ibu menyruhmu untuk membuat sebuah
cerpen Andira?” ujarnya datar.
“Maafkan aku.” ujarku dengan senyum yang datang
tiba-tiba.
Meski ada rasa
takut. Namun, aku sempatkan juga untuk tersenyum. Dan aku sedikit
terkejut juga takjub, saat senyumanku membuat bu Afiani ikut tersenyum. Aku pun
mulai dilanda ragu. Apakah bu afiani tersenyum karena ingin membalas senyumku,
atau malah tersenyum karena baru saja membaca sebuah kalimat yang sempat ku
biarkan melekat bersama coretan pulpenku.
(Aku
menjerit, Tak ada senyum lagi bagi ku)
Aku baru mengerti, senyum itu
bukan unuk ku tutupi lagi, karena hari inilah, rabu yang penuh berkah saat
pertama kalinya aku tersenyum selama memasuki masa perkuliahanku.
Gunung
pangilun….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar