Sabtu, 27 Oktober 2012

cerpen 04


Lukisan Terakhir
gerimis belum juga usai, aku tengah menunggu-nunggu datangnya pelangi sesudah ini. aku balikkan pandangan yang tadinya memperhatikan rintik hujan, sekarang telah menatap sebuah lukisan indah sosok seorang pria yang ikut ambil tempat di dinding kamar ku yang penuh dengan coretan cat berwarnah putih biru. Semapat semua kenangan tentang sosok ini kembali bermain di pikiranku.
“biaran aku yang pergi menemui bunda mu riz..” akbar menatap mata ku, tidak seperti biasanya.
ku tarik tangannya dan kemudian ku peluk penuh rasa takut.. “aku ingin ditemani beberapa saat”
“aku pasti akan kembali, walau pun sedikit terlambat mungkin” ia mengecup keningku.
aku ambil peralatan lukis, yang  tersusun rapi dalam sebuah kotak berukuran sebesar koper kerja ayah ku bila hendak ke kantor.
aku pun mulai mengeluarkan dan menyusun alat-alat lukis ku dengan baik. setelah semua nya selesai, aku mulai menatap Akbar dalam-dalam. Sedalam cinta dan kasih ku yang telah tertanam di kalbunya.
“aku ingin kamu tetap diam di sana, dengan posisi yang seperti itu. Aku ingin kamu tersenyum agar terlihat lebih ganteng.” rayu ku mengawali jemari ini memainkan kuas dan membuat coretan-coretan penuh arti.
seperti halnya setiap coretan yang mulai nampak di atas permukaan berwarna putih ini, seperti itu lah perjalanan cintaku bersama Akbar lebih kurang sudah memesuki usia yang ke empat bulan. Berkenalan dengan cara yang sangat tidak diduga-duga.
aku masih ingin mengingatnya saat mulai membuat pola lukisan ini, aku berharap lukisan dirinya yang akan ku siap kan dalam beberapa jam ini, akan ditemani kosentrasi penuh dengan sejuta kenangan ku selama benjalani kisah cinta dengannya.
musim hujan di awal bulan september , aku masih ingat jalan setapak yang mengawali teriakanku..
“jambret… toolloong..” aku menjerit sejadi-jadinya. karena yang ada di  dalam tas itu adalah sebuah harapan besar untuk membuat ku bisa tetap melanjutkan kuliah ku. baru beberapa jam yang lalu uang kiriman ibu dari kampung, aku ambil dri pos.
memang sepi saat itu, hingga teriakanku bisa ku rsakan kembali hanya menampar wajah ku, karena di bawa angin yang berlawan arah. aku mencoba ikhlas dan tetap berjalan dengan air mata yang terurai sepanjang langkah ku meninggalkan tempat kejadian. lepas sudah langkah terakhir ku meninggal kan jalan setapak yang menghubungi temapt kos ku dengan perumahan sebelah, sebelum menuju jalan raya.
hati yanng gundah, perasaan bersalah, dan pikiran yang tidak tenang, menghalangi segala bentuk nafsu makan ku. aku pandangi telpon genggam buntut milikku, pemberian dari ayah sewaktu melepasku ke kota besar ini untuk pergi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
rasa takut ku mulai tidak karuan, takut sekali jika orang di rumah menanyakan uang yang telah dikirim. aku benar-benar tidak ingin menjawab rasanya. dari pada itu yang terjadi, aku berniat untuk menefon duluan dan harus berani berbohong. Baru saja aku hendak memencet salah satu tombol, tiba-tiba saja hp ku berdering, saking kagetnya, aku hampir saja menjatuhkannya.
sebuah nomor naru muncul di layar hp ku. awalnya ragu untuk menganggatnya, tapi ya sudahlah mana tahu penting, pikir ku.
“halo, selamat malam mbak yeriz. aku akbar. kapan kita bisa bertemu. kebetulan tas mu sekarang ada bersama ku. maaf karena baru aku beri tahu. aku begitu sangat terburu-buru, hingga saat merebut ts ini dengan penjamret itu, aku tidak langsng menemuimu.” dia berbicara seperti teman dekat ku saja, dan tidak memberikan ku kesempatan untuk sekedar bertanya bagaimana bisa, bahkan sekedar mengucapkan terimakasih.
karena keterbatasan pulsa, aku tidak bisa menghubunginya kembali. aku kirimkan saja pesan singkat yang berisikan ucapan terimakash serta tempat dimana dia bisa mnemuiku. ku berikan alamat lengkap tempat kos ku.
memang semua bermul dari sana, aku dan dia mulai sering telfon-telfonan, saling mengirim pesan singkat, sekedar mananyakan sedang apa, sudah barani bertemu kembali untuk ke dua kalinya diluar kos. kmi bertemu di salah satu pusat perbelanjaan dan dengan agak sedikit canggung untuk berbicara, sampai sudah berani bercanda gurau penuh gelak tawa. saat pertemuan itu kami sama-sama mengenakan baju biru, setelah lama ngobrol, akhirnya ketahuan warna favorit kami sama, yaitu biru.
berjalan waktu hingga akan memasuki awal bulan januari. dan tepat di malam tahun baru itu, dia datang langsung untuk  sekedar memberikan cincin gram putih pada ku, sambil mengutarakan isi hatinya. tepat diawal bulan kami resmi jadian. memang pada saat itu kos sangat ramai, karena kebetulan semua anak kos dan ibu kos sepakat membuat acara api unggun. jadi tidak masalah ia datang pada waktu yang sudah larut malam. kalo tidak, mana bisa. Karena pukul sembilan malam saja pagar sudah digembok.
tidak terasa, sudah selesai pula aku melukis wajahnya dan cerita ku bersama nya belum usai untuk diceritakan.
“riz, pegal sekali rasanya badan ku, sudah tiga jam dengan posisi mematung seperti ini.” ujarnya dengan wajah memelas..
“ia akbar sayang, sudah selesai juga kok, jadi kamu sudah bisa bergerak seperti biasa. aku senang, bisa melukis dengan ditemani dirimu. Karena selama ini, kalo aku melukis untuk acara pameran kampus kamu pasti selalu sibuk..” aku tersenyum bahagia, dan kembali memeluknya.
Ada rasa yang aneh saat aku mmeluknya, terasa berat untuk melepaskannya.
“ya sudah.. sudah. kalau begitu aku menemui bunda mu dulu ya, mungkin memang ada hal yang penting, terkait dengan acara pertunangan kita..” da sayang, janagn nakal selama aku pergi. muach” satu kecupan hangatnya singgah di pipi kiri ku, dan ia berlalu dengan melambaikan tangannya.
suara mesin motor yang kemudian menghilang, menandakan ia telah berlalu, azan magrib berkumandang, masing tidak ada kabar dari akbar, atau pun ibu. isya datang dengan kabar duka, surga telah memintanya. aku ikhlas, meski ada rasa sakit yang sangat dalam..
aku tersadar,  ya allah..
andai aku tahu itu adalah pelukan terakhirnya untukku, kecupan itu juga yang terakhir, sentuhan itu, jika memang suara itu, yang ku dengar untuk terakhir kalinya, aku siap. namun, yang ku ketahui hanya rasa takut melepasnya saat itu.
ini lukisanku yang terakhir, aku mencoba mengatakan tidak jika kuas ingin menari bersama jemariku, bila warna inginkan perpaduan dariku, aku menyerah dengan segala ketakutan masa itu. saat mata ini harus memandangnya berjam-jam sebelum ia berlalu, dan kuas ini yang mengukir polanya dalam lukisan itu.
pagi ini aku tutup kenangan manis bersama akbar, ku simpan alat lukisku, ku tatap lukisan itu untuk terakhir kalinya pula, ku simpan ia bersama dalam kotak kecil, bukan ku kubur semua masalalu, tapi aku akan menjadikannya masa depan. ridwan adiknya akbar bersedia menikahiku, setelah ia tahu aku membiarkan benih cinta kami berkelana dalam rahimku. maafkan kami akbar, cinta ini terjadi sebelum aku mengenalmu. kau akan jadi yang terakhir bersama lukisan itu di dalam hatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar