Senja
yang Mulai Kusam
Senja
tersentak. Penghabisan senja; bayang-bayang sore yang masih melekat telah ditutupi
warna kemerahan diufuk barat, lautan yang membentang. Birunya laut, sudah
memudar di terpa angin yang menjanjikan kesejukan. Di tengah keramaian. Diantara
wajah-wajah penuh bahagia itu, seorang wanita berdiri seperti patung, enggan
bergerak. Matanya pun tak lepas dari satu titik penglihatan. Entah apa yang
telah ia tembus dengan mata telanjang seperti itu, yang jelas saat deburan
ombak mengejar bibir pantai, sesekali ia menyeringai, seakan marah dan
menangis. Pakaiannya yang mencolok, membuat wanita itu menjadi pusat perhatian,
dengan gaya seorang pahlawan revolusi. Baju merah dengan celana putih yang
sudah kumal dan robek-robek. Kepala terikat dengan kokoh, dengan seuntai kain
merah-putih, serupa kacu yang dipakai anak-anak pramuka. Kumal dan aneh.
Ia berdiri
tenang seakan tidak mau melepas senja saat ini. Begitu kuat ia menarik
kepergian senja untuk selalu berada tepat dipandangannya. Sembari menunggu
langkah senja berganti menjadi kelabunya malam, seorang pria berambut hitam
yang mulai memutih, berlari terpingkal-pingkal, sarung yang dijadikan pengganti
celana itu, untuk sekian kali ditarik keatas, karena selalu melorot saat
langkahnya mulai cepat. Ia berdiri persis disamping wanita yang mematung itu. Terjadi
sebuah perbincangan, ada senyuman dari sudut bibir pria lanjut usia itu. Sambil
menunjuk kearah matahari yang hendak terbenam bersama deburan ombak sore dan bersama
sedikit aura amarah yang menggempalkan tinju wanita yang dari tadi seakan tak
ingin mendengarkan celotehan pria tua.
“ aku
dulu seorang pelayar yang tangguh. kau
tahu, hujan badai, dan terik mentari telah ku lalui. separuh umur telah
ku baktikan pada keindahan laut yang sangat menantang ini. dan ribun bentuk
gelombng bersama rasi bintang telah ku jadikan penglaman yang selalu ku simpan
menjadi sebuah keabadian.” lontar pria tua dengan penuh semangat.
Hanya
ada dehaman, tidak sedikitpun ada senyum pada raut wajah wanita ini. Di sekitar
pantai, suasana sudah mulai sepi. Suara tawa
dari anak-anakyang tengah bermain dengan kawannya, telah usai. Sekian pasang
muda-mudi yang membentang kasihpun telah berlalu, beserta angin senja yang
mulai basah. Manusia mondar-mandir menuju arah kepulangannya, angin semkin
basah. Kini hanya ada jejak-jejak langkah yang tak berpola di atas pasir yang
berubah warna karena basah.
Warna langit sudah memerah,
seperti sakit saja. matahari seperti akan hilang dari kecondongan sebelumnya. semakin
sepi. hening. dan tiba-tiba………..
“ya.. ya.. itu dia. itu dia
yang telah lama ku tunggu-tunggu.” tiba-tiba, wanita itu melompat kegirangan,
sambil berputr-putar dan menatap tajam kearah pria yang berdiri di sampingnya.
Tidak
puas hanya melompat dan berputar-putar, kini wanita itu pun berlari
mengelilingi pria itu dengan sangat girang, hingga saat ia terjatuh, dengan
kilatnya berdiri dan kembali berlari. Jika ia anak kecil, mungkin hal ini
terjadi karena dapat permen atau tambahan uang saku. Tingkhnya begitu aneh saat
melihat segerombolan lumba-lumba yang mulai melompat indh di sekitar lautan
biru kemerahan itu. Pantulan warna matahari yang akan terbenam, begitu indah
berpadu warna biru laut yang eksotik. Jika saat itu bianglala pun muncul, betapa indahnya segala wujud rahmat sang
pencipta.
Pria yang
semula bercerita dengat semngat 45, kini meredup dan mulai mengerutkan dahinya,
kebingungan sempat hadir dalam ceritanya yang belum usai, tentang kegagahannya
yang telah pernah berlayar di lautan itu. Kini senja benar-benr akan
beristirahat sejenak. Wanita itu, wanita yang tengah kegirangan berhenti, dan
berjaan menuju pria tua yang mulai bingung. Tak ada cahaya yang bisa
memantulkan kilau dari sebilah pisau yang telah ia genggam dibalik
punggungnnya.
“mati
kau.. mati ditanganku lebih baik. ketimbng hukum membuatmu masih hidup, dan
berkeliaran ditengah lukaku.” Wanita itu menceloteh, dengan tangan penuh darah
segar selepas senja itu. celotehannya makin mengungkap siapa dia sebenarnya,
wanita yang sering memantung menemani senja yang akan berlalu. “aku selama ini
memang menunggumu, menunggu saat yang tepat, kau akan mti seperti ini.
lumba-lumba itu yang menghantar mayat suamiku, saat kau bunuh ia ditengah
lautan bersama puluhan orang lainnya. Kini kau dengan bangga menceritkan semua
kesenanganmu berlayar, setelah mayat-mayat itu kau jadikan umpan untuk mencari
keuntunganmu sendiri. Ha.ha.ha. pembaasan itu tiba.” ujar wanita itu dengan
lega, tanpa merasa bersalah sedikitpun.
“aku
hanyalah seorang petani yang baru melihat lautan, dan selalu berharap bisa berlayar,
dan semua yang ku ceritakan tadi akan jadi kenyataan.” sambil menahan rasa
sakit karena tusukan, pria tua berlari menuju sinar matahari yang muai
menghilang. Seperti mengikutu jejak menuju surga, ia teriakan sesuatu yang
membuat wanita itu menangis, meraung dan merasa bersalah. “ kau jadikan senjamu
kusam oleh dendam… Bukan aku, tapi kau, yang akan menjadikan senja indah
berubah jadi kusam yang penuh diam. Aku hanya membela diri dalam situasi yang
menyudutkanku.
Kini gelap telah datang. Angin
basah telah berubah menjadi angin menakutkan. Semarak merahnya bumi oleh rona
mentari yang akan terbenam, kini menepis burung hantu untuk bernyanyi.
gelap.gelap. dan gelap.
19.10.2011_Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar