Selasa, 23 Oktober 2012

cerpen senja yang mulai kusam


Senja yang Mulai Kusam


            Senja tersentak. Penghabisan senja; bayang-bayang sore yang masih melekat telah ditutupi warna kemerahan diufuk barat, lautan yang membentang. Birunya laut, sudah memudar di terpa angin yang menjanjikan kesejukan. Di tengah keramaian. Diantara wajah-wajah penuh bahagia itu, seorang wanita berdiri seperti patung, enggan bergerak. Matanya pun tak lepas dari satu titik penglihatan. Entah apa yang telah ia tembus dengan mata telanjang seperti itu, yang jelas saat deburan ombak mengejar bibir pantai, sesekali ia menyeringai, seakan marah dan menangis. Pakaiannya yang mencolok, membuat wanita itu menjadi pusat perhatian, dengan gaya seorang pahlawan revolusi. Baju merah dengan celana putih yang sudah kumal dan robek-robek. Kepala terikat dengan kokoh, dengan seuntai kain merah-putih, serupa kacu yang dipakai anak-anak pramuka. Kumal dan aneh.
            Ia berdiri tenang seakan tidak mau melepas senja saat ini. Begitu kuat ia menarik kepergian senja untuk selalu berada tepat dipandangannya. Sembari menunggu langkah senja berganti menjadi kelabunya malam, seorang pria berambut hitam yang mulai memutih, berlari terpingkal-pingkal, sarung yang dijadikan pengganti celana itu, untuk sekian kali ditarik keatas, karena selalu melorot saat langkahnya mulai cepat. Ia berdiri persis disamping wanita yang mematung itu. Terjadi sebuah perbincangan, ada senyuman dari sudut bibir pria lanjut usia itu. Sambil menunjuk kearah matahari yang hendak terbenam bersama deburan ombak sore dan bersama sedikit aura amarah yang menggempalkan tinju wanita yang dari tadi seakan tak ingin mendengarkan celotehan pria tua.
            “ aku dulu seorang pelayar yang tangguh. kau  tahu, hujan badai, dan terik mentari telah ku lalui. separuh umur telah ku baktikan pada keindahan laut yang sangat menantang ini. dan ribun bentuk gelombng bersama rasi bintang telah ku jadikan penglaman yang selalu ku simpan menjadi sebuah keabadian.” lontar pria tua dengan penuh semangat.
            Hanya ada dehaman, tidak sedikitpun ada senyum pada raut wajah wanita ini. Di sekitar  pantai, suasana sudah mulai sepi. Suara tawa dari anak-anakyang tengah bermain dengan kawannya, telah usai. Sekian pasang muda-mudi yang membentang kasihpun telah berlalu, beserta angin senja yang mulai basah. Manusia mondar-mandir menuju arah kepulangannya, angin semkin basah. Kini hanya ada jejak-jejak langkah yang tak berpola di atas pasir yang berubah warna karena basah.
Warna langit sudah memerah, seperti sakit saja. matahari seperti akan hilang dari kecondongan sebelumnya. semakin sepi. hening. dan tiba-tiba………..
“ya.. ya.. itu dia. itu dia yang telah lama ku tunggu-tunggu.” tiba-tiba, wanita itu melompat kegirangan, sambil berputr-putar dan menatap tajam kearah pria yang berdiri di sampingnya.
            Tidak puas hanya melompat dan berputar-putar, kini wanita itu pun berlari mengelilingi pria itu dengan sangat girang, hingga saat ia terjatuh, dengan kilatnya berdiri dan kembali berlari. Jika ia anak kecil, mungkin hal ini terjadi karena dapat permen atau tambahan uang saku. Tingkhnya begitu aneh saat melihat segerombolan lumba-lumba yang mulai melompat indh di sekitar lautan biru kemerahan itu. Pantulan warna matahari yang akan terbenam, begitu indah berpadu warna biru laut yang eksotik. Jika saat itu bianglala pun muncul, betapa indahnya segala wujud rahmat sang pencipta.
            Pria yang semula bercerita dengat semngat 45, kini meredup dan mulai mengerutkan dahinya, kebingungan sempat hadir dalam ceritanya yang belum usai, tentang kegagahannya yang telah pernah berlayar di lautan itu. Kini senja benar-benr akan beristirahat sejenak. Wanita itu, wanita yang tengah kegirangan berhenti, dan berjaan menuju pria tua yang mulai bingung. Tak ada cahaya yang bisa memantulkan kilau dari sebilah pisau yang telah ia genggam dibalik punggungnnya.
            “mati kau.. mati ditanganku lebih baik. ketimbng hukum membuatmu masih hidup, dan berkeliaran ditengah lukaku.” Wanita itu menceloteh, dengan tangan penuh darah segar selepas senja itu. celotehannya makin mengungkap siapa dia sebenarnya, wanita yang sering memantung menemani senja yang akan berlalu. “aku selama ini memang menunggumu, menunggu saat yang tepat, kau akan mti seperti ini. lumba-lumba itu yang menghantar mayat suamiku, saat kau bunuh ia ditengah lautan bersama puluhan orang lainnya. Kini kau dengan bangga menceritkan semua kesenanganmu berlayar, setelah mayat-mayat itu kau jadikan umpan untuk mencari keuntunganmu sendiri. Ha.ha.ha. pembaasan itu tiba.” ujar wanita itu dengan lega, tanpa merasa bersalah sedikitpun.
            “aku hanyalah seorang petani yang baru melihat lautan, dan selalu berharap bisa berlayar, dan semua yang ku ceritakan tadi akan jadi kenyataan.” sambil menahan rasa sakit karena tusukan, pria tua berlari menuju sinar matahari yang muai menghilang. Seperti mengikutu jejak menuju surga, ia teriakan sesuatu yang membuat wanita itu menangis, meraung dan merasa bersalah. “ kau jadikan senjamu kusam oleh dendam… Bukan aku, tapi kau, yang akan menjadikan senja indah berubah jadi kusam yang penuh diam. Aku hanya membela diri dalam situasi yang menyudutkanku.
Kini gelap telah datang. Angin basah telah berubah menjadi angin menakutkan. Semarak merahnya bumi oleh rona mentari yang akan terbenam, kini menepis burung hantu untuk bernyanyi. gelap.gelap. dan gelap.
           
           
                                                                                                                     19.10.2011_Padang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar