Maaf
yang Tak Sampai
Sejenak terlintas lagi dalam benak ku ini, sejuta rasa bersalah dan
resah yang selalu menghantui langkah ku, tak pernah usai rasanya, dan tak
pernah berujung indah. Terkadang timbul juga rasa benci yang sangat menusuk
hati saat teringat akan luka lama yang tak pernah bisa berhenti membuat perih.
Lama ku terdiam di tengah
sunyinya malam ini, berusaha bangkit dari keterpurukan yang membuat ku tak
mampu merasakan hidup yang sebenarnya, entah alasan apa yang ia berikan padaku
sebagai patokan tuk melepas tanggung jawabnya atas diriku ini. Benci..
sangatlah benci ku padanya, jika tak ingat bahwa ia yang, melahirkan ku ke atas
bumi ini mungkin rasa benci ini akan
selalu bersarang di hati ku.
Tanpa ku sadari moza tengah memperhatikan ku sedari tadi, ia menatap
ku dengan tatapan cemasnya, tatapan indah dari bola matanya yang selalu memberi ku semangat tuk menjalani
hidup ini.
“Jihan, apa lagi yang kamu pikirkan? Tidurlah lagi, tidak baik untuk
kesehatanmu malam-malam begini masih saja begadang.” Sahutnya.
Seakan petir yang baru saja menyambar, suaranya mengagetkanku ,
sehingga membuat buyar semua rasa yang bernaung di pikiranku.
“ah… kau ini, sangat mengejutkan. Mengapa tak mengetuk sebelum kau
masuk?” ujar ku.
Ia diam, tak ada sepatah katapun yang mampu terlontarkan dari bibir
indahnya itu, ia juga tak sanggup memainkan bahasa tubuhnya tuk menjawab
pertanyaanku.
“ mengapa kau diam dan berdiri di situ? Peeeeeeeeeerrrrrrggi. Mau
apa kau kesini? Mengapa kau mengagetkanku? Jaawwwwwwwwwwwab Moza.” Aku
benar-benar marah padanya.
(ia menangis dan gemetar menjawab pertanyaanku yang beruntun)
”a..aa..ku takut sakitmu bertambah parah, karena kamu belum juga
tidur.”
“Mengapa kau menangis? Ku tak perlu air matamu, jawab saja semua
pertanyaan ku!” aku membentaknya.
“ kau selalu saja marah padaku, aku selalu salah di matamu, tak
adakah sedikit rasamu padaku farah? Mengapa? Apa salah ku?” ia balik bertanya,
seraya menangis.
“hhhhhhhhhhhmmm.. kau malah balik bertanya, aku benci kamu Moza,
keluar dari kamar ku ini, cepat!” lagi-lagi aku membentaknya.
“ terimakasih atas semua bentakanmu ini farah, kau harus tahu bahwa
aku sangat menyayangimu, dan aku tidak sama dengan ibu. Kau ingin tahu mengapa
aku tak mengetuk pintumu dan langsung saja mencoba menyapamu? Sedari tadi aku
memperhatikanmu yang tengah bersedih dan batinku tersiksa dengan itu semua,
salah kah perasaan ku itu? Aku ini kakak mu, aku tak ingin kau bersedih. Air
matamu adalah luka ku farah.. aku bukannya tidak sopan tak mengetuk pintu kamarmu,
kau sangka aku ini langsung masuk, salah besar kau lontarkan smua tuduhan itu
padaku, karena pintu kamarmu memang sudah terbuka, dan saat ku lewat tak
sengaja ku lihat raut wajah mu yang tengah sedih dan resah. Jika memang kau
merasa aku yang salah, maafkan aku.” ia menangis dan meninggalkanku.
(Moza.. maafkan aku) kata-kata ini ku lontarkan dalam hati kecil ku,
saat bibir ini tak bisa mengeluarkan kata maaf itu. Aku terdiam, tanpa ku
sadari air mataku menetes, semakin lama semakin sesak rasanya dadaku, ingin
menjerit saat itu juga. Aku sadar aku salah, aku selalu saja menanam rasa benci
yang tak karuan padanya, meskipun aku selalu merasa setiap tatapannnya adalah
pancaran indah yang menjadi semangatkku, namun terkadang perasaan ku ini tak
ingin jujur dengan semua rasa sayang yang juga ku miliki untuknya. Aku juga tak
tahu harus bagaimana lagi.
Ku hilangkan semua masalah yang ku alami tadi, ku coba menutup mata
walau berat awalnya, ku paksa dan terus ku paksa hingga ku menembus mimpi yang
tak terduga, dalam mimpi ku bertemu ayah tercinta, ayah ku terlihat sangat rapi
dengan kemeja putih yang bergaris-garis biru, kemeja yang dipakai ayah saat
tragedi kecelakaan itu, hingga aku menjadi seperti ini sekarang, hanya
berbaring saja dikamar dengan sejuta rasa aneh yang selalu menemaniku.
“ayah…….” Sahutku melambai.
Ayah membalas lambaian tangan ku, sungguh sangat bahagianya aku, ku
lihat wajah ayah yang bersinar, dan senyuman yang indahpun dilepaskan ayah
padaku, ku balas senyuman itu. Saat itu juga ku baca bahasa tubuh ayah yang
tengah mengajak ku tuk ikut bersamanya, terlintas diingatan saat seperti ayah
yang dulu mengajakku kepelukannya sepulang bekerja, ah… ku coba tuk tenang dan
melangkah kearah ayah, tapi ayah memberi isyarat tuk berhenti melangkah, karena
bukan aku yang di panggil ayah, aku bingung dan melihat ke belakang, aku
terkejut saat melihat moza berlari menuju ayah. Aku ingin marah rasanya, tapi
belum sempat berkata apa-apa, moza telah berdiri di samping ayah, aku
benar-benar ingin marah saat itu, moza dan ayah melambai dan saat ku
melangkahkan kaki ingin menemui mereka , mereka hilang entah kemana. Aku kecewa
dan berteriak tuk melepas rasa kesal ini, hingga teriakan ku itu mengembalikan
ku ke alam nyata. Ku terbangun, saat sinar mentari pagi menyentuh wajah ku. Dan
kicauan burung menyayi riang menyambut pagi juga aku yang baru terbangun dari
mimpi ku.
Ku coba
mengingat mimpi itu, ku coba mengisyaratkannya, tapi aku tidak bisa. Aku hanya
terdiam melepaskan rasa takut yang mulai singgah di hatiku. saat rasa itu berkecamuk
muncul dibenakku sosok orang yang sangat ku benci, ibu.. ya ibuku.. rasanya tak
ingin memanggilnya ibu, tapi apa boleh dikata dia adalah orang yang membuatku
bisa melihat dunia yang indah ini, namun ia juga yang membuat ku tak bisa lagi
menyusuri jalan tuk menatap indah dunia dengan langkahku tuk menyusuri titik
demi titik kabut tepi keindahan.
Ibu, mengapa semuanya jadi begini? Aku
sebenarnya tak ingin membenci mu, aku sayang padamu ibu, namun kau terlalu
kejam meninggal kan ku dengan keadaan yang tak sepantasnya, seharusnya kau ada
saat ini disisi ku ibu, aku butuh kamu.
Sejak kecelakaan
setahun yang lalu itu ibu tidak pernah lagi menampakkan wajah nya padaku, ibu
seakan menghilang. Aku mulai membenci ibu saat ibu menjadi penyebab kematian
ayah dan ketertekanan ku yang hidup tanpa punya kaki.
Sepulang ayah
bekerja aku selalu mendapatkan ayah dengan senyuman manis sambil berdiri di
depan pintu dengan dua bungkus coklat kesukaan ku dan moza, dan setangkai mawar
indah untuk ibu, ayah selalu saja begitu. Ayah akan menggendongku sampai
keruang tengah kemudian memeluk ibu yang sedang menonton telenovela, tapi saat
itu ayah tak seperti biasanya.
Pintu depan
terbuka, tanpa ada bunyi bel. Aku berlari dari kamar menuju ruang depan, ku yakin
itu ayah yang sengaja masuk tanpa bel, namun aku ragu saat mata tertuju pada
jam dinding di ruang tengah yang masih menunjukkan pukul setengah empat sore,
tidak mungkin ayah pulang cepat tanpa memberi ku kabar, ku berjalan perlahan
dan ku saksikan sendiri apa yang terjadi saat itu.
Rangkulan mesra
yang biasanya ku lihat antara ayah dan ibu, namun tidak pada saat ini. Ibu
dirangkul laki-laki asing yang tak ku kenal, ia juga mengecup pipi ibu. Aku
kesal, sangat kesal. Tak berapa lama semua kejadian menjijikan itu ku lihat
dengan mata ku ini, aku tidak mengerti mengapa ibu begini, dan siapa laki-laki
itu.
Bel berbunyi,
aku tidak ingin beranjak dari tempat ku berdiri, karena saat itu aku serasa
membeku, tak percaya dengan apa yang ku lihat. Lama bel berbunyi, sampai
akhirnya pintu terbuka. Ku lihat wajah ayah yang riang tiba-tiba memerah penuh
amarah, melihat apa yang dilakukan ibu.
“bu… apa-apaan
ini semua? Kau.. siapa kau yang beraninya menyentuh istriku?” teriak ayah menarik ibu kesisinya.
“aku tomi,
suaminya renata” jawap laki-laki itu dengan tegasnya.
“ayah.. ibu akan
jelaskan semuanya” ibu menangis.
“ah………. Aku tak
mengerti dengan semua ini, aku tak mau ribut dirumah, lihatlah farah melihat
semua ini, aku tak ingin anak-anak membenciku, karena aku memarahi ibu mereka”
ayah menatap ku, ia tahu aku melihat semuanya?
“farah…farah itu kah anak ku renata? Mana ia? Aku rindu
padanya.” Ujarnya pada ibu.
“tidak. Farah
anak ku, darah dagingku. Dan ku peringatkan padamu jangan sentuh anakku.”
‘ayah…” aku
berlari kepangkuan ayah..
Saat itu juga
laki-laki itu menarikku dan membawa ku pergi dengan mobilnya, aku menangis,
menjerit memanggil ayah, ku lihat dibelakang mobil ayah tengah mengejarku, aku
takut benar-benar takut, karena mobil melaju dengan cepatnya. Dari kejauhan ku
lihat truk besar yang mengarah tepat di depan mobil yang membawa ku.
Tak tahu apa
yang terjadi sebenarnya, aku sudah berada di rumah dengan alat lengkap rumah
sakit, saat itu juga ku ingin berlari mencari tahu apa yang terjadi di luar
sana, namun kehancuran hati itu melandaku, kaki ku tidak lagi bisa menopang
tubuh ku ini. Aku lumpuh, aku tidak bisa menggerakkan kaki ku, sehingga saat
jenazah ayah hendak dikubur, aku tak bisa melihat tu semua. Sampai saat ini, aku tidak bisa berjalan, dan
moza lah yang selalu merawatku, karena aku tidak pernah lagi bertemu ibu, ntah
apa yang terjadi dengan ibu yang aku tahu ibu pergi dengan laki-laki itu, dan
ayah telah meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Ku lupakan
kenangan pahit itu, ku pejamkan mata lalu tanpa terasa seakan ada hawa dingin
disampingku, ku terbangun dan langsung teringat moza, ya aku tiba-tiba teringat
moza. Aku ingin sekali rasanya bertemu moza, dan memeluknya serta meminta maaf
padanya atas sikap kasarku selama ini. Ku sadar moza lah satu-satunya yang ku
punya saat ini, dan ku ingin sampaikan padanya aku juga menyayanginya, bahkan
sangat. Ku juga merasakan hal aneh, tiba-tiba saja ku ingin memeluk moza dan
bilang “ moza maafkan aku”.
Dari luar terdengar
suara keras yang membuat ku terkejut. Ingin sekali ku melihat apa yang sedang
terjadi di luar sana.
“moza.. moza..
aku ingin keluar, tolong bawa aku keluar. Aku ingin melihat apa yang terjadi di
luar, aku mendengar suara yang keras sekali moza, seperti orang tabrakan.
Moza,, kau bisa dengar aku?..” teriakku..
Aneh. Biasanya
moza langsung menemuiku saat namanya ku panggil, tapi tidak tuk saat ini. Apa
yang terjadi sebanarnya. Dengan sekuat tenaga ku coba menggerakkan kaki ini,
awalnya perih yang ku rasa, namun dengan semua kemampuan dan tenaga yang ada,
ku bisa berdiri, tekat kuat ku tuk menemui moza dengan berjalan sendiri sangat
kuat, ku ingin dia senang ku bisa berjalan lagi.
Ku
melangkah dengan perlahan, karena masih
ada sedikit rasa perih dikaki ini saat ku bawa bergerak. Tak ku hiraukan rasa
sakit itu ku tetap melangkah tuk menemui moza. Sesampainya di pintu depan ku
melihat orang-orang yang ramai di tengah jalan, ternyata memang benar barusan
terjadi tabrakan. Ku masih mencari di mana moza, tapi tak bertemu. Ku dekati
kerumunan itu, lalu ku lihat sosok wanita penuh darah diwajahnya itu, ku kenal
benar dengan wajah itu, sudah tidak asing lagi bagiku.
“moza..mozaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa..
jangan tinggalkan aku. Lihatlah moza, aku sudah bisa berjalan.” Aku merintis
memeluknya.
Moza digotong
warga setempat memasuki sebuah mobil milik warga, dengan keinginan membawa moza
ke rumah sakit terdekat. Selama dalam perjalanan aku tak berhenti menangis dan
berbicara pada moza, tapi ia hanya diam dan tersenyum. Ku tahu ia menahan rasa
sakit.
“moza.. moza..
jangan tinggalkan aku, lihat moza, aku sudah bisa berjalan. Moza aku ingin
mengatakan sesuatu padamu, aku sangat sayang kamu moza, sangat sayang, aku
tidak ingin kehilanganmu moza, aku tak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Kamu
masih menyayangiku kan moza? Dan satu
hal yang harus kau tahu, aku sangat ingin memelukmu sambil berbisik, aku sayang
mbak moza, seperti aku sayang papa. Moza aku…….”.
Belum sempat
kata-kata terakhir itu ku ucapkan, ku merasakan genggaman tangan moza yang
tadinya kuat, kini telah melemah.. ,moza telah meninggalkanku, aku kehilangan
moza, sebelum aku meminta maaf padanya. Aku menyesal karena tak sempat meminta
maaf, saat ini ku selalu bertanya,” masih adakah maaf untuk ku moza” untuk
orang yang selalu menyakitimu dengan melampiaskan bencinya pada sosok ibu yang
mirip denganmu, dan untuk orang yang juga sangat menyayangimu?