Tidak Semudah,
Meniup Udara
Oleh: Desi Nurmala
Sari
“sudah
berapa lama, aku menunggumu berbicara… presentasimu gagal.”
Kata-kata
itu lagi. Mengapa akhir-akhir ini aku selalu disusahkan dengan kalimat itu, panas
sekali gendang telingaku saat mendengar kalimat itu meleset dengat cepat,
hingga semua kosa kata yang sudah terkumpul di benakku buyar seketika. Membayangkan
raut wajahnya yang mengesalkan itu, seperti sedang membayangkan wajah para
hantu di rumah hantu, saat ada acara pasar malam di kampungku. Terlalu seram
untuk dilihat.
Sore ini aku ada janji dengan rekan kerja,
untuk melakukan sebuah presentasi produk baru, perusahaan kepada para calon
investor. Hal ini untung-untungan. Jika presentasi oke, kita kebanjiran modal
untuk memproduksi barang, jika tidak oke, maka berakhirlah karir ku, bersama rekan
satu pembagian kerja. Semua akn berlalu sampai pada akhir presentasi, itu
terhenti. Hal yang sangat menakutkan, lebih menakutkan lagi dari pada
membayangkan wajah para hantu. Antara hidup
dan pingsanku.
Kegagalan presentasi saat menghadapi tes akhir
di masa kuliah, membuatku jenuh untuk berharap bisa sukses nanti sore. Badan panas:dingin
rasanya. Suara mulai serak, bisa jadi hilang saja suara ku ini saat presentasi
nanti. Ku baca semua buku penunjang, mulai dari buku keterampilan berbicara
yang ku miliki saat kuliah dulu, sampai buku menghilangkan grogi saat bicara di
depan orang banyak. Tuhan ku mohon,
jadikan usahaku ini sebuah keberhasilan nantinya. Man jadda wajadda: siapa yang
bersunggung-sungguh akan sukses. Mantra sakti ala “Alif” dalam novel negri
5 menara, a. fuandi. Yang mampu menjadikan anak kampung maninjau-sumatra barat,
orang yang optimis dalam segala hal. Mantra ini yang selalu ditanam dalam
jiwanya. Membuat hidupnya cerah. Mungkinkah, aku bisa sepertinya? ah, aku rasa
itu pernyataan yang konyol, aku dan dia berbeda. Tapi juga punya kesamaam,
yaitu sama-sama berasal dari sumatera barat. semoga kesamaan asal ini,
membuatku sedikit bisa seperti dia. Man jadda wjadda bersemayamlah di hatiku
saat ini.
Meski aku adalah sarjana pendidikan bahasa dan
sastra indonesia, aku sama sekali tidak meluruskan jalur untuk menjadi seorang
pendidik. Bisnis, dan dunia usaha adalah jalanku, meski ku sadar tidak begiu
mahir dalam berbicara, meski keterampilan itu satu semester ku gulati sewaktu
kuliah. Tapi keinginanku membuatku mampu mencukupi kekurangan itu.
“ aku
perhatikan dari tadi, ternyata hari ini kamu ganti hobi ya vin? lebih suka
melamun.” sapaan dari nia membuyarkan kata-kata yang sedari tadi bernyanyi
dalam otakku.
Tidak ku perdulikan teguran nia, sama sekali
tidak. Bahkan menolehnya saja aku tidak ingin, apalagi menjawab umbarannya. Ingin
mengulang nyanyian dari kata yang memperkosa pikiranku, namun semua terlambat. Waktu
sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Empat jam lagi. Hidup dan pingsanku akan
dipertaruhkan. Rasanya mantra man jadda wajadda saja masih kurang, aku masih
ingat mantra lainnya dalam novel itu, iza
shadaqal az mu wadaha sabil: kalau benar ada kemauan, maka terbukalah jalan.
Aku paham sekarang, kembali ku pelajari buku panduan berbicaraku, dengan
memahami terlebih dahulu konsep dari bahan presentasiku nanti. Tiga jam penuh
aku menyelesaikan semua pemahaman ini, hingga kepercayaan diri ku junjung
tinggi-tinggi, karena aku yakin akan semua usaha ini.
Masih ada waktu satu jam lagi, aku membuka
leptop yang sudah marah, untung saja tidak sampai merajuk, karena tidak ku
acuhkan beberapa waktu. Berselang aku sedang fokus memahami konsep
presentasiku. Leptop yang sedah hampir ku hancurkan keyboardnya, yang sudah
lima tahun menemani jemariku menari menuangkan semua gagasan dan kata yang
berlomba ingin keluar dari otakku. Menulis adalah kegemaranku, hampir setiap
waktu luang ku manfaatkan untuk menulis. Namun aku bingung, mengapa satu dari
aspek bahasa yang ku punya, tidak bisa diandalkan. Ya, itu dia aspek berbicara.
Selalu membuat aspek berbahasaku tidak sempurna. Tapi tidak dengan saat ini,
aku percya setelah presentasi ini, aspek berbahasaku akan menjadi sempurna,
sebaik yang bisa ku pelajari.
Waktunya telah tiba. Dengan penuh percaya diri
aku membuka presentasiku hari ini. Orang-orang penting, dengan wajah
intelektual telah menatapku penuh penasaran tingkat tinggi, sedikit pun aku
tidak gentar, berulang kali ku tekankan mantra sakti ala “alif” dalam hatiku
yang tengah gemetar.
Waktu itupun berlalu, tepukangan memecahkan
kondisi yang tadinya tegang menjadi rileks untuk saat ini. “selamat ya vino,
kau berhasil. Ini sungguh presentasi yang luar biasa, yang pernah ku dengar
selama aku mengikuti presentasi serupa, sebagai seorang investor. Penanaman modal
akan segera kami bicarakan pada direktur utama.” ujar pak agung wijaya. Seraya melepas
senyum padaku sebelum berlalu. aku hanya mengangguk kecil dan belum sempat
mengucapkan terimakasih sebelum ia meninggalan ruangan miting saat itu.
Kejadian
yang spektakuler, aspek berbahasaku kini lengkap sudah. Kekurangan itu telah
berhasil ku samaratakan dengan kegigihanku untuk mempelajari sesuatu yang
pernah membuat ku gagal.