Sabtu, 27 Oktober 2012

cerpen 05


Maaf yang Tak Sampai


Sejenak terlintas lagi dalam benak ku ini, sejuta rasa bersalah dan resah yang selalu menghantui langkah ku, tak pernah usai rasanya, dan tak pernah berujung indah. Terkadang timbul juga rasa benci yang sangat menusuk hati saat teringat akan luka lama yang tak pernah bisa berhenti membuat perih.
 Lama ku terdiam di tengah sunyinya malam ini, berusaha bangkit dari keterpurukan yang membuat ku tak mampu merasakan hidup yang sebenarnya, entah alasan apa yang ia berikan padaku sebagai patokan tuk melepas tanggung jawabnya atas diriku ini. Benci.. sangatlah benci ku padanya, jika tak ingat bahwa ia yang, melahirkan ku ke atas bumi  ini mungkin rasa benci ini akan selalu bersarang di hati ku.
Tanpa ku sadari moza tengah memperhatikan ku sedari tadi, ia menatap ku dengan tatapan cemasnya, tatapan indah dari bola matanya  yang selalu memberi ku semangat tuk menjalani hidup ini.

“Jihan, apa lagi yang kamu pikirkan? Tidurlah lagi, tidak baik untuk kesehatanmu malam-malam begini masih saja begadang.” Sahutnya.

Seakan petir yang baru saja menyambar, suaranya mengagetkanku , sehingga membuat buyar semua rasa yang bernaung di pikiranku.

“ah… kau ini, sangat mengejutkan. Mengapa tak mengetuk sebelum kau masuk?” ujar ku.
Ia diam, tak ada sepatah katapun yang mampu terlontarkan dari bibir indahnya itu, ia juga tak sanggup memainkan bahasa tubuhnya tuk menjawab pertanyaanku.

“ mengapa kau diam dan berdiri di situ? Peeeeeeeeeerrrrrrggi. Mau apa kau kesini? Mengapa kau mengagetkanku? Jaawwwwwwwwwwwab Moza.” Aku benar-benar marah padanya.

(ia menangis dan gemetar menjawab pertanyaanku yang beruntun)
”a..aa..ku takut sakitmu bertambah parah, karena kamu belum juga tidur.”

“Mengapa kau menangis? Ku tak perlu air matamu, jawab saja semua pertanyaan ku!” aku membentaknya.

“ kau selalu saja marah padaku, aku selalu salah di matamu, tak adakah sedikit rasamu padaku farah? Mengapa? Apa salah ku?” ia balik bertanya, seraya menangis.

“hhhhhhhhhhhmmm.. kau malah balik bertanya, aku benci kamu Moza, keluar dari kamar ku ini, cepat!” lagi-lagi aku membentaknya.

“ terimakasih atas semua bentakanmu ini farah, kau harus tahu bahwa aku sangat menyayangimu, dan aku tidak sama dengan ibu. Kau ingin tahu mengapa aku tak mengetuk pintumu dan langsung saja mencoba menyapamu? Sedari tadi aku memperhatikanmu yang tengah bersedih dan batinku tersiksa dengan itu semua, salah kah perasaan ku itu? Aku ini kakak mu, aku tak ingin kau bersedih. Air matamu adalah luka ku farah.. aku bukannya tidak sopan tak mengetuk pintu kamarmu, kau sangka aku ini langsung masuk, salah besar kau lontarkan smua tuduhan itu padaku, karena pintu kamarmu memang sudah terbuka, dan saat ku lewat tak sengaja ku lihat raut wajah mu yang tengah sedih dan resah. Jika memang kau merasa aku yang salah, maafkan aku.” ia menangis dan meninggalkanku.

(Moza.. maafkan aku) kata-kata ini ku lontarkan dalam hati kecil ku, saat bibir ini tak bisa mengeluarkan kata maaf itu. Aku terdiam, tanpa ku sadari air mataku menetes, semakin lama semakin sesak rasanya dadaku, ingin menjerit saat itu juga. Aku sadar aku salah, aku selalu saja menanam rasa benci yang tak karuan padanya, meskipun aku selalu merasa setiap tatapannnya adalah pancaran indah yang menjadi semangatkku, namun terkadang perasaan ku ini tak ingin jujur dengan semua rasa sayang yang juga ku miliki untuknya. Aku juga tak tahu harus bagaimana lagi.
Ku hilangkan semua masalah yang ku alami tadi, ku coba menutup mata walau berat awalnya, ku paksa dan terus ku paksa hingga ku menembus mimpi yang tak terduga, dalam mimpi ku bertemu ayah tercinta, ayah ku terlihat sangat rapi dengan kemeja putih yang bergaris-garis biru, kemeja yang dipakai ayah saat tragedi kecelakaan itu, hingga aku menjadi seperti ini sekarang, hanya berbaring saja dikamar dengan sejuta rasa aneh yang selalu menemaniku.

“ayah…….” Sahutku melambai.

Ayah membalas lambaian tangan ku, sungguh sangat bahagianya aku, ku lihat wajah ayah yang bersinar, dan senyuman yang indahpun dilepaskan ayah padaku, ku balas senyuman itu. Saat itu juga ku baca bahasa tubuh ayah yang tengah mengajak ku tuk ikut bersamanya, terlintas diingatan saat seperti ayah yang dulu mengajakku kepelukannya sepulang bekerja, ah… ku coba tuk tenang dan melangkah kearah ayah, tapi ayah memberi isyarat tuk berhenti melangkah, karena bukan aku yang di panggil ayah, aku bingung dan melihat ke belakang, aku terkejut saat melihat moza berlari menuju ayah. Aku ingin marah rasanya, tapi belum sempat berkata apa-apa, moza telah berdiri di samping ayah, aku benar-benar ingin marah saat itu, moza dan ayah melambai dan saat ku melangkahkan kaki ingin menemui mereka , mereka hilang entah kemana. Aku kecewa dan berteriak tuk melepas rasa kesal ini, hingga teriakan ku itu mengembalikan ku ke alam nyata. Ku terbangun, saat sinar mentari pagi menyentuh wajah ku. Dan kicauan burung menyayi riang menyambut pagi juga aku yang baru terbangun dari mimpi ku.
Ku coba mengingat mimpi itu, ku coba mengisyaratkannya, tapi aku tidak bisa. Aku hanya terdiam melepaskan rasa takut yang mulai singgah di hatiku. saat rasa itu berkecamuk muncul dibenakku sosok orang yang sangat ku benci, ibu.. ya ibuku.. rasanya tak ingin memanggilnya ibu, tapi apa boleh dikata dia adalah orang yang membuatku bisa melihat dunia yang indah ini, namun ia juga yang membuat ku tak bisa lagi menyusuri jalan tuk menatap indah dunia dengan langkahku tuk menyusuri titik demi titik kabut tepi keindahan.
 Ibu, mengapa semuanya jadi begini? Aku sebenarnya tak ingin membenci mu, aku sayang padamu ibu, namun kau terlalu kejam meninggal kan ku dengan keadaan yang tak sepantasnya, seharusnya kau ada saat ini  disisi ku ibu, aku butuh kamu.
Sejak kecelakaan setahun yang lalu itu ibu tidak pernah lagi menampakkan wajah nya padaku, ibu seakan menghilang. Aku mulai membenci ibu saat ibu menjadi penyebab kematian ayah dan ketertekanan ku yang hidup tanpa punya kaki.
Sepulang ayah bekerja aku selalu mendapatkan ayah dengan senyuman manis sambil berdiri di depan pintu dengan dua bungkus coklat kesukaan ku dan moza, dan setangkai mawar indah untuk ibu, ayah selalu saja begitu. Ayah akan menggendongku sampai keruang tengah kemudian memeluk ibu yang sedang menonton telenovela, tapi saat itu ayah tak seperti biasanya.
Pintu depan terbuka, tanpa ada bunyi bel. Aku berlari dari kamar menuju ruang depan, ku yakin itu ayah yang sengaja masuk tanpa bel, namun aku ragu saat mata tertuju pada jam dinding di ruang tengah yang masih menunjukkan pukul setengah empat sore, tidak mungkin ayah pulang cepat tanpa memberi ku kabar, ku berjalan perlahan dan ku saksikan sendiri apa yang terjadi saat itu.
Rangkulan mesra yang biasanya ku lihat antara ayah dan ibu, namun tidak pada saat ini. Ibu dirangkul laki-laki asing yang tak ku kenal, ia juga mengecup pipi ibu. Aku kesal, sangat kesal. Tak berapa lama semua kejadian menjijikan itu ku lihat dengan mata ku ini, aku tidak mengerti mengapa ibu begini, dan siapa laki-laki itu.
Bel berbunyi, aku tidak ingin beranjak dari tempat ku berdiri, karena saat itu aku serasa membeku, tak percaya dengan apa yang ku lihat. Lama bel berbunyi, sampai akhirnya pintu terbuka. Ku lihat wajah ayah yang riang tiba-tiba memerah penuh amarah, melihat apa yang dilakukan ibu.

“bu… apa-apaan ini semua? Kau.. siapa kau yang beraninya menyentuh  istriku?” teriak ayah menarik ibu kesisinya.

“aku tomi, suaminya renata” jawap laki-laki itu dengan tegasnya.

“ayah.. ibu akan jelaskan semuanya” ibu menangis.

“ah………. Aku tak mengerti dengan semua ini, aku tak mau ribut dirumah, lihatlah farah melihat semua ini, aku tak ingin anak-anak membenciku, karena aku memarahi ibu mereka” ayah menatap ku, ia tahu aku melihat semuanya?

“farah…farah  itu kah anak ku renata? Mana ia? Aku rindu padanya.” Ujarnya pada ibu.

“tidak. Farah anak ku, darah dagingku. Dan ku peringatkan padamu jangan sentuh anakku.”

‘ayah…” aku berlari kepangkuan ayah..

Saat itu juga laki-laki itu menarikku dan membawa ku pergi dengan mobilnya, aku menangis, menjerit memanggil ayah, ku lihat dibelakang mobil ayah tengah mengejarku, aku takut benar-benar takut, karena mobil melaju dengan cepatnya. Dari kejauhan ku lihat truk besar yang mengarah tepat di depan mobil yang membawa ku.
Tak tahu apa yang terjadi sebenarnya, aku sudah berada di rumah dengan alat lengkap rumah sakit, saat itu juga ku ingin berlari mencari tahu apa yang terjadi di luar sana, namun kehancuran hati itu melandaku, kaki ku tidak lagi bisa menopang tubuh ku ini. Aku lumpuh, aku tidak bisa menggerakkan kaki ku, sehingga saat jenazah ayah hendak dikubur, aku tak bisa melihat tu semua.  Sampai saat ini, aku tidak bisa berjalan, dan moza lah yang selalu merawatku, karena aku tidak pernah lagi bertemu ibu, ntah apa yang terjadi dengan ibu yang aku tahu ibu pergi dengan laki-laki itu, dan ayah telah meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Ku lupakan kenangan pahit itu, ku pejamkan mata lalu tanpa terasa seakan ada hawa dingin disampingku, ku terbangun dan langsung teringat moza, ya aku tiba-tiba teringat moza. Aku ingin sekali rasanya bertemu moza, dan memeluknya serta meminta maaf padanya atas sikap kasarku selama ini. Ku sadar moza lah satu-satunya yang ku punya saat ini, dan ku ingin sampaikan padanya aku juga menyayanginya, bahkan sangat. Ku juga merasakan hal aneh, tiba-tiba saja ku ingin memeluk moza dan bilang “ moza maafkan aku”.
Dari luar terdengar suara keras yang membuat ku terkejut. Ingin sekali ku melihat apa yang sedang terjadi di luar sana.

“moza.. moza.. aku ingin keluar, tolong bawa aku keluar. Aku ingin melihat apa yang terjadi di luar, aku mendengar suara yang keras sekali moza, seperti orang tabrakan. Moza,, kau bisa dengar aku?..” teriakku..

Aneh. Biasanya moza langsung menemuiku saat namanya ku panggil, tapi tidak tuk saat ini. Apa yang terjadi sebanarnya. Dengan sekuat tenaga ku coba menggerakkan kaki ini, awalnya perih yang ku rasa, namun dengan semua kemampuan dan tenaga yang ada, ku bisa berdiri, tekat kuat ku tuk menemui moza dengan berjalan sendiri sangat kuat, ku ingin dia senang ku bisa berjalan lagi.
Ku melangkah  dengan perlahan, karena masih ada sedikit rasa perih dikaki ini saat ku bawa bergerak. Tak ku hiraukan rasa sakit itu ku tetap melangkah tuk menemui moza. Sesampainya di pintu depan ku melihat orang-orang yang ramai di tengah jalan, ternyata memang benar barusan terjadi tabrakan. Ku masih mencari di mana moza, tapi tak bertemu. Ku dekati kerumunan itu, lalu ku lihat sosok wanita penuh darah diwajahnya itu, ku kenal benar dengan wajah itu, sudah tidak asing lagi bagiku.

“moza..mozaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.. jangan tinggalkan aku. Lihatlah moza, aku sudah bisa berjalan.” Aku merintis memeluknya.

Moza digotong warga setempat memasuki sebuah mobil milik warga, dengan keinginan membawa moza ke rumah sakit terdekat. Selama dalam perjalanan aku tak berhenti menangis dan berbicara pada moza, tapi ia hanya diam dan tersenyum. Ku tahu ia menahan rasa sakit.

“moza.. moza.. jangan tinggalkan aku, lihat moza, aku sudah bisa berjalan. Moza aku ingin mengatakan sesuatu padamu, aku sangat sayang kamu moza, sangat sayang, aku tidak ingin kehilanganmu moza, aku tak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Kamu masih menyayangiku kan moza?  Dan satu hal yang harus kau tahu, aku sangat ingin memelukmu sambil berbisik, aku sayang mbak moza, seperti aku sayang papa. Moza aku…….”.

Belum sempat kata-kata terakhir itu ku ucapkan, ku merasakan genggaman tangan moza yang tadinya kuat, kini telah melemah.. ,moza telah meninggalkanku, aku kehilangan moza, sebelum aku meminta maaf padanya. Aku menyesal karena tak sempat meminta maaf, saat ini ku selalu bertanya,” masih adakah maaf untuk ku moza” untuk orang yang selalu menyakitimu dengan melampiaskan bencinya pada sosok ibu yang mirip denganmu, dan untuk orang yang juga sangat menyayangimu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar